Rabu, 01 Mei 2024

Ketika Politik tak Lagi Menarik

(foto istimewa)
Selasa, 30 Jan 2018 | 17:46 WIB - Suara Pembaca

Oleh: Muhamad Pauji

Pegiat organisasi Gema Nusa, simpatisan organisasi kepemudaan OI Banten

Saya ingin menggunakan logika terbalik dari pola pikir konvensional tentang politik modern yang banyak dibicarakan akademisi dan intelektual muda Ismatillah Nuad dan Agus Sjafari. Bahwa fenomena calon tunggal dan kotak kosong seakan-akan menunjukkan masyarakat Banten belum melek politik. Di sini saya ingin menegaskan bahwa fenomena tersebut justru lantaran masyarakat kita semakin sadar, cerdas, dan semakin melek politik.

Masyarakat tahu dan paham belaka perihal gaya dari aksi-aksi politisi yang membungkus diri dengan label agama. Mereka sudah paham basa-basi kaum politisi yang menyatakan diri bahwa mereka seolah-olah menuruti amanah dan menjalankan tugas secara konstitusional. Partai yang getol mempropagandakan diri dengan label agama, seakan-akan tidak lagi menggiurkan dalam khazanah perpolitikan kita. Gelagat mereka, lagu-lagu lama mereka sudah kadung usang, sudah gampang ditebak. Para budayawan yang memahami mimik dan ekspresi wajah kaum politisi, dengan mudahnya membahasakan gestur-gestur mereka, melalui bahasa kalbu yang makin terbaca oleh para pemikir dan penulis kita.

Termasuk mereka yang sibuk mendatangi tempat ibadah, majlis ta’lim hingga pesantren-pesantren. Tak ayal sebagian intelektual kita dengan nyinyir menyebut istilah “Solatnya Kaum Politisi”. Seakan-akan ibadah yang khusuk dan fokus memuja Allahu Akbar tak mungkin dipersatukan dengan kepura-puraan (riya) untuk mengejar target-target keuntungan duniawi. Sebagian masyarakat religius yang makin melek politik, justru memahami bahwa prilaku tak bermoral, khususnya korupsi paling menghebohkan malah berkaitan dengan politisi yang bermain di wilayah pencetakan kitab suci hingga penyelenggaraan jamaah haji dan umroh.

Kadang sebagian masyarakat – termasuk intelektual muda kita --  terlalu dini untuk memihak salah satu partai atau kandidat tertentu. Padahal dalam realitasnya, di zaman modern ini konsep kepemimpinan negeri telah bergeser secara signifikan kepada konsep kewenangan dan kekuasaan wilayah teritorial. Konsep pelayanan umat telah beralih kepada konsep memiliki dan menguasai. Tak perlu heran jika kita mendengar pakar dan akademisi bicara lantang di forum seminar dan simposium, mengutip ucapan sang politikus secara membabi-buta. Tahu-tahu sang tokoh yang berderet-deret titel dan jabatan itu – hanya dalam hitungan hari – terpelanting dari kursi kekuasaannya lantaran kasus suap dan korupsi.

Boleh-boleh saja mereka pasang iklan, berkampanye dengan berbagai slogan yang menggiurkan. Tetapi selama diniatkan hanya untuk kepentingan politik pragmatisme, semata-mata demi pemenangan pemilu – dengan mengabaikan solidaritas kebantenan – cepat atau lambat akan menjadi bumerang seperti yang sudah dicontohkan oleh para pendahulu kita. Seringkali sebagian masyarakat ikut-ikutan latah membanggakan tokoh idola mereka di dunia politik. Namun percayalah, semua itu hanya pandangan kasatmata belaka, hanya kulit-kulit luarnya saja. Setelah sebagian mereka terpelanting dan terjengkang dari kursi kekuasaan yang dibanggakannya, dalam hitungan detik, ribuan pakar dan akademisi yang menjadi pengikutnya mau tidak mau harus mengubah paradigma dan wawasan berpikirnya. Dengan sendirinya, bangunan pembenaran yang sudah dipupuk selama bertahun-tahun itu ternyata membuahkan hasil-hasil yang keropos, bagai kayu-kayu tua yang dimakan rayap.

Saya menulis seperti ini sebagai analisis berdasarkan antropologi budaya dan politik belaka. Secara pribadi saya tak pernah berada di kubu salah satu dari kepentingan mereka. Juga tak ingin memosisikan diri sebagai salah satu rival dari para kandidat yang akan bersaing di ajang suksesi politik Banten. Tidak ada urgensinya bagi saya untuk bersikap dengki(hasad) agar salah satu dari para kandidat itu kehilangan kenikmatannya. Saya hanya memberi sedikit wasiat yang lumrah dan rasional, sehubungan para pendahulu kita yang terjengkang dari kursi kekuasaan memang disebabkan adanya anomali dari pola hidup sesuai akal sehat, lupa diri, hingga tak mau berbaris bersama-sama mereka yang punya kehendak untuk melawan lupa.

Bukankah berkali-kali dalam Alquran diingatkan agar manusia senantiasa belajar dari sejarah hidup para pendahulu mereka, baik dari sisi positif maupun negatif. “Demikianlah, Kami kisahkan nasib yang dialami oleh umat-umat terdahulu, dan Kami berikan dari sisi Kami peringatan yang jelas.” (Thaha: 99). Pernyataan religius ini mengandung arti bahwa dalam kehidupan dunia sudah ada garis-garis keadilan yang disodorkan Tuhan. Bahwa kebohongan dan pencitraan yang dibikin-bikin itu tidak panjang umurnya, tidak baka dan abadi. Hanya sanggup menjangkau wilayah tertentu saja, yakni orang-orang yang masih mungkin dikelabui. Atau para konstituen yang menyibukkan diri di ajang persaingan kandidat, yang seolah-olah pintar dan paham politik, namun boleh jadi justru sebaliknya, merekalah yang belum melek politik.

Akhir-akhir ini, seberapa banyak kaum politisi yang mestinya sanggup memikul amanat dan tanggungjawab, telah terperangkap dalam jeratan narkoba, hingga membuat ketenaran dan popularitas yang dipupuk dengan susah-payah bertahun-tahun, dapat musnah seketika dalam waktu sekejap. Berapa banyak di antara mereka yang menjadi idola kaum tua-muda pada detik ini, namun pada detik ke depan tahu-tahu terjebak ke dalam jaring buatannya sendiri. Ibarat kain tenun yang dengan susah-payah dirangkai, tahu-tahu hancur seketika, dengan benang-benangnya yang kusut masai menyerimpet kaki penenunnya sendiri.

Apabila formalitas agama dijadikan tameng untuk kepentingan politis dan popularitas semu, kita dapat pastikan bahwa citra agama akan menjadi tercemarkan. Menurut hemat saya, apa yang diungkap oleh beragam wacana dan opini akhir-akhir ini, bahwa orang Banten jago kandang, hipokrit, gila kekuasaan, temperamental, kelebihan wishfulthinking, bukanlah persoalan substantif untuk ditentang atau diperdebatkan. Tentu saja mereka menulis dan berkarya dengan motif-motif demi perubahan dan pembaharuan Banten. Mereka berkarya dan berkreasi untuk menunjukkan kemanfaatan dirinya bagi pembangunan akal-akal sehat di ranah peradaban Banten.

Oleh karena itu, sekali lagi ingin saya tegaskan bahwa fenomena calon tunggal dan kotak kosong akan berlebihan jika dikatakan seolah-olah masyarakat kita belum melek politik. Justru menunjukkan kecerdasan masyarakat Banten yang semakin memahami fungsi demokrasi dan kemerdekaan berpolitik, termasuk kemerdekaan untuk memilih penguasa atau tidak memilih sama sekali. Karena boleh jadi dalam persepsi mereka, para kandidat itu benar-benar penguasa dan politisi ansikh, dan bukan berjiwa pemimpin sejati yang rela dan ikhlas melayani rakyat.

Pentingkah kita melibatkan sesuatu pada urusan yang bukan merupakan hal esensial dalam kehidupan kita, dan tidak bermakna apa-apa bagi kemajuan peradaban Banten. Barangkali semakin cerdas masyarakat, justru mereka menjatuhkan pilihan untuk tidak melibatkan diri dalam hal remeh-temeh seperti dramatisasi politik yang kampungan, membosankan, dan yang itu-itu saja. Dalam bahasa kiai, “Emangnya hukum tidak memihak salah satu kandidat itu apa? Makruh, mubah atau haram? Jangan-jangan malah wajib!”

Ketika dunia politik menjadi tak menarik dalam kacamata masyarakat, barangkali mereka akan uncang-uncang kaki saja di sela-sela kesibukan sehari-hari, sambil asyik membaca anekdot politik melalui karya-karya jurnalistik atau sastra yang secara antropologis meneropong gestur-gestur politisi yang menggelikan itu. Bahkan dalam artikel K.H. Chudori Sukra yang berjudul “Ketika Peta Politik Berubah" (Republika, 12 Januari 2018), secara eksplisit ditegaskan bahwa di tengah iklim budaya dan keamanan yang kondusif, serta perekonomian suatu provinsi yang maju, fungsi pemimpin tak lain hanya memberi teladan pada gaya hidup yang bersahaja dan sederhana.

Bukan mencontohkan  gaya hidup hedonis, kegenitan, berkubang pada gelimang kemegahan duniawi, yang membuat suatu masyarakat bisa terjerumus ke dalam dekadensi moral karena ulah pemimpinnya sendiri. Masyarakat yang berkubang pada hedonisme, akan sulit membedakan mana keinginan, mana kebutuhan hidup yang sebenarnya. Padahal memenuhi keinginan hawa nafsu hanya akan memberi kesenangan badani hanya dalam beberapa waktu, akan tetapi mengutamakan kebutuhan yang sebenarnya, dapat membahagiakan dan menentramkan kalbu. Wassalam. (*)

Redaktur: Arif Soleh
Bagikan:

LAINNYA

Demokrasi di Indonesia  Menjelang Pemilu 2024
Jumat, 17 Nov 2023 | 16:27 WIB
Demokrasi di Indonesia  Menjelang Pemilu 2024
Peran Agama Dalam Proses Demokrasi
Jumat, 17 Nov 2023 | 09:54 WIB
Peran Agama Dalam Proses Demokrasi
Pemikiran Besar dan Ideologi-Ideologi Besar
Jumat, 17 Nov 2023 | 09:30 WIB
Pemikiran Besar dan Ideologi-Ideologi Besar

KOMENTAR

Ketika Politik tak Lagi Menarik

BERITA TERKAIT

INILAH SERANG

1437 dibaca
Polisi Ajak Masyarakat Sadarkan Kelompok Radikal di Banten
2698 dibaca
Pesan Sabu, Polisi Tangkap Oknum Kades di Kecamatan Petir

HUKUM & KRIMINAL

1564 dibaca
Polres Lebak Amankan Ratusan Botol Miras dan Dua Pasangan Non Muhrim
348 dibaca
Warga Kasemen Bisnis Obat Terlarang Ditangkap Polisi

POLITIK

1876 dibaca
HUT Ke 53, Kader Golkar Pandeglang Diminta Tetap Solid
765 dibaca
Pemkab Serang dan KPU Bantah Ada Klaster Pilkada

PENDIDIKAN

1501 dibaca
Ini Penjelasan Dindikbud Pandeglang Soal Lelang Jabatan Kepsek
1005 dibaca
Sekda Entus Minta KKN Mahasiswa Unila Laksanakan Prokes
Top