Minggu, 19 Mei 2024

Memimpin Perubahan Mindset

(Foto Ilustrasi)
Senin, 17 Apr 2017 | 09:21 WIB - Suara Pembaca

Oleh: M. Muckhlisin

Penulis Alumni Ponpes Al-Bayan, Rangkasbitung, Lebak

SEBAGIAN orang melihat perspektif hidupnya dengan sudut pandang yang absurd seakan tak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Peristiwa-peristiwa hidup yang dialami dipandang sebagai chaos dan malapetaka, tanpa dikehendaki kehadirannya. Misalnya ketika kita kehilangan orang yang dicintai, munculnya pemimpin yang tak kredibel maupun anggota DPRD yang korup. Tentu saja kita tidak menghendaki bupati, camat maupun lurah yang tidak kompeten, di mana orang lain yang memilihnya, tetapi kita juga yang menanggung akibat lantaran dipimpin oleh mereka.

Beberapa waktu lalu kita mendengar kasus pemukulan dan pengeroyokan terhadap warga Ciwandan dan Walantaka, karena tuduhan masyarakat sebagai “penculik”. Sementara bupati dan walikota adem tentrem saja melihat nasib rakyat jelata yang diperlakukan semena-mena. Hampir tiap hari kita mendengar kedunguan para pembesar kita seakan pantas menjadi sasaran caci-maki. Kemarin kita mendengar adanya bupati di daerah Sumatera yang bangga mengusir warga Ahmadiyah, bahkan merobohkan tempat ibadah mereka. Esok hari mungkin kita akan menemukan kasus yang lebih parah dan lebih mengenaskan lagi.

Tentang bupati yang tega merobohkan tempat ibadah itu, ada pihak yang mengagumi keberaniannya, sebagian lain menilainya tidak berperikemanusiaan. Ini bukan kasus langka dan bukan yang terakhir kalinya. Karena boleh jadi hari ini atau besok, terjadi juga di ranah Banten dengan substansi yang sama, dan dengan cara penanganan yang sama pula. Bagaimanapun, tanpa adanya kompetensi pemimpin untuk meneladani perubahan mindset di tengah masyarakat kita, hal-hal serupa mesti akan terjadi dan terulang kembali di hari-hari mendatang.

Rasulullah pernah mengingatkan bahwa persoalan menerima pluralitas dan keragaman yang kita hadapi saat ini memang berbeda dengan corak pluralitas yang dihadapi Nabi di zaman kejayaan Madinah dulu. Meskipun esensinya sama-sama menghargai keragaman budaya dan bangsa, karena realitas perbedaan yang dihadapi adalah keniscayaan sejarah yang diberikan Tuhan agar saling berlomba dalam kebaikan (nilai-nilai ketaqwaan).

Karena itu, urusan mengubah mindset masyarakat, terlebih mengubah mindset penguasa dan politisi kita, tentu bukanlah urusan yang gampang belaka. Kita tidak mudah meyakinkan seorang bupati atau walikota, bahwa orang-orang Ahmadiyah adalah manusia juga, yang berhak hidup dan menjalankan urusan mereka dengan tentram. Meskipun saya tidak mengerti ajaran mereka, tapi saya mengerti bahwa mereka tak lain dari manusia-manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi, seperti halnya Rasulullah bersikap dalam menghadapi perbedaan pendapat dan pandangan hidup.

Jika pemimpin kita hanya membunglon belaka, tak punya ketegasan untuk meyakinkan masyarakat akan pentingnya kerjasama dalam memajukan wilayah, saya merasa khawatir tentang masa depan kerukunan beragama di tengah masyarakat kita. Jika mereka saling berbenturan, mereka rela berbenturan sampai mati dan masing-masing merasa dirinya “syahid” lantaran didukung oleh tuhan yang diyakini kebenarannya. Ketika mereka menang, mereka yakin bahwa itu adalah pertolongan allah, dan ketika mereka kalah dan mati, mereka juga yakin akan dimuliakan allah. Jadi, allah yang manakah yang benar-benar “Allah” yang sesungguhnya?

Sebuah hadits qudsi menyatakan bahwa kasih sayang Allah akan mengalahkan kemurkaan-Nya. Hal ini mengandung arti bahwa kebencian dan kedengkian dengan mengatasnamakan “allah” hanyalah semu dan palsu belaka. Karenanya sulit berdebat dengan orang yang tidak memahami pentingnya hidup dalam keragaman. Orang ini memunggungi bumi dan menghadapkan mukanya ke langit, serta membiarkan dirinya menjadi masalah bagi orang-orang yang ada di permukaan bumi. Mereka membikin-bikin neraka di bumi untuk mendapatkan surga di atas langit. Mereka ribet dan rumit sekali menjadi manusia, sangat sulit diyakinkan bahwa untuk meraih surga di atas langit tak ada jalan lain selain menciptakan surga yang ada di bumi. Mereka tidak nyambung ketika kita bicara bahwa untuk mencapai kebahagiaan di langit, mesti harus dimulai dari menciptakan kebahagiaan hidup di bumi.

Orang-orang yang tidak memiliki kesabaran tinggi, tentu akan ogah menulis wacana dan opini berkali-kali, guna meyakinkan orang seperti bupati yang ada di Sumatera, dan kepala daerah sejenisnya. Mereka tidak mau merepotkan diri menyadarkan orang yang memang dungu untuk mencerna kebenaran. Hanya membuang-buang waktu saja, kata mereka. Mereka punya waktu untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, serta rencana-rencana yang dibuat bagi kemaslahatan umat. Sementara para penguasa juga punya waktu berguna menurut keyakinan mereka, terutama dalam merancang agenda politik guna memberantas siapa lagi yang dituduh menyesatkan oleh masyarakat konstituennya.

Lantas, perubahan macam apa yang diharapkan dari politisi dan penguasa semacam itu? Barangkali lambat laun mereka akan semakin terampil menjadi pemarah dan pendengki. Ketika masyarakat marah dia ikut-ikutan marah. Ketika masyarakat tertawa dia ikut-ikutan nyengir. Menghadapi pemimpin seperti itu, tidak ada pilihan lain selain kita harus bersikap independen, meningkatkan kualitas diri menjadi lebih sabar, legowo, hingga kita menemukan jalan untuk menjadi lebih bahagia.

Saya akan mengakhiri wacana ini dengan ungkapan revolusioner yang pernah disampaikan Albert Einstein, bahwa pola pikir yang sama dengan hari kemarin, bila dipakai untuk menemukan solusi hari esok, mesti akan menimbulkan masalah bagi hidup kita. Apa yang disampaikan Einstein sebenarnya pernah disabdakan Rasulullah di hadapan para sahabat, empatbelas abad sebelum Einstein menyatakan hal yang sama: “Antum a’lamu bi’umuri dunyakum” (kalian lebih mengerti tentang persoalan yang akan kalian hadapi nanti).

Menurut saya, bergaul dengan karya orang-orang besar yang memiliki jiwa bahagia akan lebih berkah dan bermanfaat bagi kesehatan mental kita. Kita akan memetik hikmah yang melimpah dari keteladanan mereka. Seorang sahabat yang baik kerapkali mengingatkan bahwa kualitas kebahagiaan bukanlah karena kekayaan harta dan tahta, tapi kekayaan ilmu yang bermanfaat. Setinggi apapun titel dan jabatan Anda, sebanyak apapun harta Anda, sampai kapanpun ia tidak akan mengantarkan Anda menuju kualitas hidup yang membahagiakan.

Menjadikan diri sendiri lebih bahagia, serta menjadikan hari ini lebih baik dari kemarin, adalah masalah yang teramat penting bagi kita. Memang akan selalu ada kegaduhan dan kebisingan yang menjebak amarah kita. Selalu saja ada provokasi yang memancing perhatian dan komentar kita. Bila kita kurang terampil melatih kesabaran, maka kerugiannya akan ditanggung oleh diri kita sendiri.

Karena itu, tanggung jawab kita adalah bagaimana menjadikan tubuh dan pikiran selalu sehat, tentram dan bahagia. Karena terbukti dari banyak kasus keributan dan pengeroyokan, mereka yang tak pernah mengenal kebahagiaanlah yang selalu menjelma menjadi neraka bagi orang lain. (*)

Redaktur: Arif Soleh
Bagikan:

KOMENTAR

Memimpin Perubahan Mindset

BERITA TERKAIT

INILAH SERANG

958 dibaca
Ditempat Berbeda, Satresnarkoba Polres Serang Tangkap Tiga Kurir Narkoba
1317 dibaca
Dinsos Banten Berikan Bimtek Pemantapan Petugas Undian

HUKUM & KRIMINAL

2519 dibaca
Seorang Ayah di Tangerang Hamili Anak Kandung Hingga Melahirkan
1440 dibaca
Sejoli Ini Dicekik, Dipukul dan Dirampas Motornya

POLITIK

1740 dibaca
KPU Banten Deklarasi Kampanye Damai Pemilu 2019
1176 dibaca
Kapan Pelantikan Bupati-Wabup Serang Terpilih, Ini Penjelasan Ketua KPU

PENDIDIKAN

1067 dibaca
Luncurkan Beasiswa Guru PAUD, Himpaudi Apresiasi Bupati Serang
372 dibaca
Gelar Workshop Praktek Aplikasi AI, AIMI Gagas Bentuk Kelompok Peneliti
Top