Oleh: Pujiah Lestari
Penulis Peneliti Historical Memories untuk Wilayah Banten
SAAT ini setiap mahasiswa dituntut untuk berubah dalam banyak hal. Mereka tidak mungkin terbelenggu oleh ilmu dan pola pembelajaran masalalu. Generasi muda sudah hidup di tengah peradaban yang sama sekali berbeda dengan generasi leluhurnya. Banyak kurikulum di kampus perguruan tinggi yang dinilai kurang relevan, karenanya harus diadakan penyesuaian dan inovasi untuk mengisi masa depan mahasiswa kita.
Ketika generasi tua belajar dengan mengandalkan kertas dan papan tulis, generasi muda tidak lagi belajar dengan sistem linier yang terpisah-pisah antarsubyek. Mereka belajar secara integratif, dengan lingkungan yang dinamis, multitasking, terhubung antara teori dengan laboratorium maupun riset di lapangan. Ketika para dosennya baru belajar internet dan membanggakan Wikipedia, para mahasiswanya justru sudah menjelajahi beragam literatur terbaru di kampus Google dan YouTube.
Bagi para dosen yang terpolarisasi dalam mindset lama, matakuliah fisika dan sastra adalah dua subyek ilmu yang dianggap berbeda. Dalam rancang belajar elemen, keduanya terpisah antara otak kanan dan otak kiri. Tetapi dalam pola pendidikan integratif, ditemukan sistem program baru Aktuaria, yang mensinergikan kemampuan otak kiri dan kanan sekaligus, hingga pengajar matematika maupun fisika tidak lagi terkesan galak dan killer.
Banyak sekali pola pembelajaran yang mesti dibenahi di era kekinian. Jika kita kurang tanggap pada percepatan perubahan ini niscaya generasi muda Banten akan terseok-seok di belakang, menjadi pemimpi-pemimpi yang tak pernah sampai ke tujuannya. Karena itu, kurikulum perguruan tinggi mutlak harus disesuaikan dengan kemampuan integratif dan kuantitatif bagi pertumbuhan anak-anak pintar Banten. Dengan itu mereka terampil melihat dengan multiperspektif, serta mandiri dalam mengembangkan life skill-nya.
Dengan pengembangan kecerdasan sosialnya, mahasiswa kita juga mesti peka akan pentingnya nilai persatuan dalam keragaman budaya, assertiveness, tidak arogan dan agresif. Mereka terlatih untuk bersikap responsif tapi tidak reaktif. Mereka juga tidak asal ngomong “demokrasi” tapi tumbuh daya nalar dan mentalitasnya agar hidup berdemokrasi. Mereka mesti berani memulai cara-cara baru, terampil berpikir kritis dalam melawan mitos-mitos. Sistem pendidikan kita harus bangkit pada metode yang bisa saling menyemangati, bukan mempertahankan budaya lama yang sibuk menghukum dan membikin pelajar dan mahasiswa bingung.
Karya Tulis Mahasiswa Kita
Dalam mencipta karya tulis, para mahasiswa Banten harus mampu menuangkan gagasan-gagasan yang lahir dari karya cipta, ekspresi rasa yang tumbuh dari dalam dirinya. Kalaupun ada rujukan dari penulis lain, setidaknya mereka fair menyampaikan kutipan dari penulis aslinya, baik langsung maupun tidak langsung.
Jadi, karya akademiknya bukan saja bermanfaat bagi pengembangan diri, tapi juga sangat berguna bagi proses pencerdasan dan pendewasaan para pembaca lainnya. Saat ini, banyak sekali kita mendengar laporan dari berbagai pihak mengenai karya tulis yang disusun tidak berdasarkan prosedur yang baik dan benar. Padahal kejujuran dan sikap ilmiah (scientific attitude) adalah patokan utama bagi proses pertumbuhan moral mahasiswa kita.
Tidak jarang juga kita temukan karya tulis yang berdasarkan pemikiran yang tidak logis dan tidak konsisten. Misalnya dalam paparan dari hasil tugas penulisan karya ilmiah, antara pendahuluan, kajian pustaka, hasil temuan dan pembahasan, hingga kesimpulan yang sama sekali tidak ada kesenyawaan dan tidak mengandung kesatuan dan benang merah yang selaras. Penguasaan mereka dalam teknologi informasi, seakan dimanfaatkan untuk menyadur atau menjiplak dari karya orang lain, mengambil jalan pintas untuk tugas akademik mereka. Konon tradisi copy paste ini bukan hanya merambah di kalangan pelajar dan mahasiswa, tapi juga di kalangan guru, dosen, maupun guru-guru besar kita juga.
Pada saat diminta untuk memaparkan karya ilmiahnya, banyak di antara mahasiswa Banten yang lebih mengutamakan kulit-kulit luarnya (cover-nya) tapi tidak mampu untuk mempertanggungjawabkan isi dan pemaparan dari hasil karya tulisnya. Akhir-akhir ini kita mendengar beberapa calon guru besar di kampus perguruan tinggi kita, yang terpaksa ditanggalkan jabatannya, setelah diketahui bahwa karya yang diterbitkannya ternyata milik orang lain.
Obsesi Mahasiswa Kita
Perlu dicamkan bagi para mahasiswa Banten, bahwa dunia ilmu bukanlah bersifat kasatmata dan instan belaka. Tidak jarang mahasiswa terobsesi pada hal-hal besar tetapi tak menyadari pentingnya pendekatan terhadap nilai-nilai pendidikan itu sendiri.
Kadang saya bertanya-tanya, mengapa dalam aksi-aksi demontrasi di Banten ini, para mahasiswa selalu saja terobsesi pada pendekatan yang sifatnya makrosopik melulu. Mahasiswa inginnya sibuk terekspos media. Padahal belum sempat mendalami akar permasalahan yang sebenarnya. Mereka seringkali mengutip omongan tokoh-tokoh besar dengan kerja yang kecil, ketimbang orang kecil dengan hasil-hasil kerja yang besar. Di sinilah kita mengenal istilah “sindrom megaloman” yang cukup mengkhawatirkan. Tidak sedikit perguruan tinggi yang membanggakan nama besar almamaternya, padahal untuk bersaing di tingkat Asia saja kewalahan setengah mati.
Para mahasiswa dan kaum akademisi Banten dituntut untuk memahami fenomena yang ada, bahwa kebutuhan umat manusia semakin berorientasi pada hal-hal yang sifatnya simpel dan sederhana. Saat ini adalah era di mana kita harus mengulik sampai ke inti terkecil dari sesuatu yang besar. Kita harus berpikir ke dalam (inward), karena ternyata penyebab berlarut-larutnya persoalan bangsa ini, dikarenakan kita sibuk berpikir dalam skala besar dan makrosopik, hingga cenderung rumit, njelimet, dan mempersulit diri. Dan akar masalahnya memang dibikin-bikin oleh ulah kelakuannya sendiri.
Kini solusi bagi peradaban masadepan adalah petualangan dan pengembaraan kita ke dalam diri kita sendiri, sebagai inti dari semua makhluk hidup. Kita dituntut untuk memahami dan meneliti lingkungan sekitar kita, hingga ke sel-sel dan molekul dalam tubuh kita sendiri. Demikian ditegaskan dalam Alquran (ad-Dzariyat: 21): “Dan di dalam diri kamu sendiri, apakah kamu tidak memikirkannya?” (*)