lBC, Jakarta - Perdebatan antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait larangan caleg mantan napi koruptor dinilai menyeret publik ke dalam kebingungan.
Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal KIPP Indonesia, Kaka Suminta. Menurutnya, perbedaan pendapat kedua pihak soal ini berpotensi memicu terjadinyaperpecahan pada kelompok masyarakat sipil dan pemerhati pemilu di Indonesia.
Kaka menyebutkan, polemik tersebut mulai terjadi dari terbitnya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota (legislatif).
Adapun PKPU tersebut mengatur bagaimana mekanisme dan syarat pendaftaran calon wakil rakyat di semua tingkatan. Pokok masalah adalah soal bunyi pasal 4 ayat 3 tentang pengajuan bakal calon legislatif.
Dia menjelaskan, bunyi pasal 4 ayat 3 adalah, "Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi."
Suminta mengatakan, ayat inilah yang menjadi polemik dan dalam pandangan publik telah terjadi adu argumen. Selain itu, kedua belah pihak dianggap saling bersikukuh pada pandangan masing-masing.
"Sikap dan aksinya antara KPU dan Bawaslu dalam melihat persoalan mantan narapidana korupsi untuk dicalonkan oleh Parpol peserta pemilu dalam pemilu 2019 nanti," ungkapnya.
Sementara itu, kata dia, pandangan KPU jelas sebagaimana yang tertuang dalam pasal 4 ayat 3 tersebut, yakni agar Parpol tidak menyertakan mantan terpidana narkoba, kejahatan seks terhada anak dan mantan terpidana korupsi.
Menurutnya, keberadaan ketentuan tentang mantan terpidana korupsi ini telah menjadi polemik sejak dibentuk sebelum diundangkan dalam lembaran negara. Hal ini dikarenakan pada awalnya, KPU menempatkan ayat ini pada syarat pencalonan DPR dan DPRD.
"Kemudian menimbulkan banyak penentangan karena dianggap tidak sesuai dengan persyaratan pencalonan anggota legislatif sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.Dalam undang-undang pemilu tersebut, hanya dua kriteria mantan terpidana yang tidak boleh didaftarkan sebagai Caleg, yakni mantan napi narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak, tidak tercantum ketentuan tentang larangan nyaleg bagi mantan terpidana korupsi," jelasnya.
Lebih jauh, dia menuturkan, pengajuan PKPU tentang pencalonan DPR dan DPRD ini sempat terhambat disebabkan adanya sikap keberatan Komisi II DPR tentang pasal laranyan nyaleg bagi mantan napi korupsi.
"Demikian juga terjadi penentangan di publik, Bawaslu sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu juga saat itu tak sependapat dengan KPU tentang hal ini," ucapnya.
Penetapan pengundangan PKPU Nomor 20, kata dia, akhirnya dilakukan setelah KPU mengajukan perubahan dari rancangan PKPU semula yang menempatkan pasal ini dalam syarat pendaftaran caleg, menjadi ketentuan dalam pengajuan caleg yang dilakukan oleh Parpol peserta Pemilu.
"Masalah mencuat pasca KPU mencoret para calon DPR dan DPRD yang terindikasi mantan terpidana korupsi dari Daftar Calon Sementara anggota DPR dan DPRD. Beberapa calon legislatif yang dicoret namanya mengajukan gugatan ke Bawaslu, atas pencoretan para mantan napi korupsi tersebut oleh KPU," ungkapnya.
Sumber: lnilahcom