KETIKA pujian membutakan sedangkan celaan menyadarkan, bukankah celaan menjadi lebih harum manfaatnya dan lebih manis hikmahnya? Karena sesungguhnya, lima huruf dari pujian adalah ujian itu sendiri. Mungkin banyak orang yang bisa lulus dari ujian celaan, namun bagaimana dengan ujian berupa pujian? Apakah kita mampu lulus darinya?
Seorang alim Fudhail bin 'Iyyadh pernah berujar, "Apabila Anda bisa mengerjakan sesuatu tanpa diketahui, maka kerjakanlah. Kenapa risih jika orang-orang tidak memuji, dan kenapa risih jika engkau mungkin tercela di mata orang, namun di sisi Allah engkau dipuji?" Sungguh benar untaian hikmah dari beliau, mengapa kita sibuk dengan penilaian orang lain padahal mereka tak akan menjadi hujjah kita tuk kembali ke Jannah? Pencipta manusialah yang menjadi penilai baik dan buruknya perbuatan kita, bukan mereka para manusia. Lantas mengapa kita lebih sibuk dengan penilaian makhluk dan mengabaikan penilaian Tuhan?
Bahkan para ulama terdahulu yang tak diragukan lagi keilmuannya masih sangat khawatir tentang cacatnya niat, tidak sempurnanya ketulusan dan tersiratnya rasa ujub (bangga diri). Sebagaimana Sufyan Ats-Tsauri yang tidak akan membiarkan lebih dari tiga orang untuk duduk dalam majelisnya dan merasa semakin ketakutan bila orang dalam majelisnya semakin bertambah jumlahnya, hingga satu hari ia berkata, "Demi Allah, kita telah meninggal bahkan kita tidak menyadarinya! Demi Allah, jika pemimpin umat Islam Umar radhiallahu anha, melihat seseorang seperti saya duduk di pertemuan ini, dia akan menyuruhku berdiri dan berkata 'Orang sepertimu tidak layak untuk ini!'"
Selain Sufyan Ats-Tsauri, Bishr Al-Hafi juga pernah meninggalkan majelis yang dipimpin olehnya untuk mengajarkan hadits karena rasa takut tidak lurusnya niat dalam membagikan ilmu. Hingga ketika orang-orang bertanya, "Apa yang akan engkau katakan kepada Rabbmu ketika Dia bertanya 'Mengapa kau tinggalkan pengajaran tentang sabda nabi-Ku Muhammad shalallaahu 'alaihi wa sallaam wahai Bishr?'"
Maka Bishr pun menjawab, "Saya akan mengatakan, 'Ya Tuhanku. Engkau memerintahkanku untuk melakukannya dengan tulus, tapi saya tidak menemukan ketulusan itu dalam diriku.'" Maha Lembut Allah yang menyinari jiwa para hamba pilihan-Nya dengan kerendahan hati dan sikap wara'. Semoga kita mampu meluruskan niat kita untuk tetap tulus dalam penghambaan kepada-Nya dan keinginan kuat tuk mendapat pujian semata-mata di mata Allah dan Rasul-Nya. Semoga keikhlasan menyatu dalam jiwa dan ketulusan bersenyawa dalam tiap helaan napas berdzikir pada-Nya. Aamiin ya Rabbal 'alamin. [lnilahcom]