Senin, 02 Desember 2024

Seberapa Waras Orang Banten?

[Foto Ilustrasi/Photographic Memory/net]
Kamis, 30 Mei 2019 | 15:05 WIB - Suara Pembaca

Oleh: Muhamad Muckhlisin

Penulis Kritikus sastra, dan pemenang pertama lomba cerpen tingkat nasional (2017) yang diselenggarakan Rakyat Sumbar.

Kita bersyukur bahwa karya sastra hasil goresan pena warga Banten, Pikiran Orang Indonesia (POI), akhir-akhir ini semakin marak menjadi sorotan publik, di antaranya harian nasional Kompas (lihat: “Agama Tanpa Akal dan Hati Nurani”, Kompas 11 November 2018, dan “Membangun Akal Sehat”, Kompas 24 April 2018). Saat ini, novel tersebut terus menggelinding jadi pembicaraan hangat – termasuk gunjingan – baik di harian nasional maupun lokal, seperti Solopos, Kalteng Pos, Riau Pos, Padang Ekspres, Analisa (Medan), tak terkecuali harian-harian umum Banten.

Dalam novel sebelumnya yang ditulis oleh pengarang yang sama, diberi judul Perasaan Orang Banten (POB). Selain pesantren dan kampus Untirta, konon novel tersebut pernah pula dibedah di hadapan seniman dan komunitas relawan Rumah Dunia atas inisiatif Gol A Gong. Setelah saya telusuri kata demi kata, kalimat demi kalimat, nampak narasi-narasi yang menggambarkan keprihatinan masyarakat Banten (dan Indonesia) yang senantiasa berada dalam tekanan, bahwa semuanya harus serba cepat demi meraih produktivitas sebanyak-banyaknya. Tetapi, carapenuturan narasi di mana sang penulis mampu berdiri di luar keruwetan dan kesemrawutan itulah yang membuat POB sulit tertandingi oleh sastrawan kita, terutama yang banyak bersandar dari karya-karya realisme atau surrealisme Barat.

Di bawah tekanan sistem yang kapitalistik, hampir semua tokoh dalam POB tak punya cukup ruang dan waktu bagi dirinya sendiri. Dalam situasi seperti itu, energi kreatif orang perorang dan masyarakat tidaklah dapat tumbuh dan berkembang. Khususnya dalam soal produksi barang yang bersifat material, sebagian masyarakat mampu, tetapi mereka miskin dalam energi kreatif kebudayaan. Mereka kehilangan ilham-ilham kreatif, lebih-lebih dalam memenuhi kebutuhan rohani dan kulturalnya.

Katakanlah ada segelintir orang yang kekayaannya melimpah, namun jiwanya tak memperoleh kebahagiaan karena tak bisa berkembang dalam keseluruhannya. Sementara, gaya penulisan yang mampu memberi jarak antara kreator dengan hasil kreasinya, hanya mungkin dikerjakan orang-orang Banten yang siap “urip selo”, yakni mereka sanggup hidup mandiri dan meluangkan waktu untuk berefleksi dan memperdalam kekayaan akal budinya. Dengan urip selo, manusia mampu mengidealkan pencapaian rohani, melewati batas-batas keduniawian dan kematerialan hidup. Mereka juga mampu membangkitkan motivasi dan kesadaran kita, bahwa manusia bukan semata-mata “makhluk pekerja” melainkan jugamakhluk rohani yang kreatif berjuang dan meluangkan waktunya demi pembangunan peradaban umat.

 “Sastrawan negeri ini sudah cukup banyak menulis dan menggambarkan orang lain, pihak lain, atau tradisi suku dan bangsa lain, tetapi seberapa banyak kita menemukan karya-karya sastra yang sanggup membicarakan diri sendiri, memerangi kekurangan dan kelemahan diri, atau bahkan menertawakan diri kita sendiri?” tutur Hafis Azhari saat acara bedah bukunya di pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung.

Novel POB bukan sejenis karya yang berhamburan teori untuk mendeklamasikan manifes protes politik. Juga tidak mengkritik demokrasi secara tendensius. Ia dilahirkan dari gagasan sederhana untuk menertawakan ulah dan kelakuan kita, terlebih kelakuan para elit politik di Banten ini. Membaca novel tersebut, serasa kita dihadapkan pada hamparan tradisi dan kebudayaan lokal Indonesia, berikut peristiwa yang melompat dari gatra satu ke dimensi-dimensi lainnya. Peristiwa dan pengalaman hidup manusia yang terserak bagaikan puzzle, untuk kemudian dikumpulkan dan disatukan oleh kemampuan pengarangnya. Di sinilah pentingnya siasat dan strategi kebudayaan. Tak usah dipahami serba rumit dan muluk-muluk, sederhana saja.

Dalam penggambaran tokoh-tokohnya yang multi kompleks – cermin budaya masyarakat kita – seakan bangsa ini berdiri di atas puzzleyang masih semrawut, acak-acakan, dan belum ada yang menata dengan rapi. Hidup serba susah, nelangsa, banyak urusan utang dan kredit, tetapi dihadapi dengan sikap angkuh, jumawa, dan temperamental. Pada perspektif lain, ada sekelompok seniman berpendapat bahwa karya sastra sulit menembus kekuatan benteng dan kuasa politik yang sedemikian kokoh dan tangguh di Banten ini. Menurut saya, hal tersebut tergantung dari sudut mana memandangnya. Sebab, skeptisisme dari sebagian seniman yang merasa rendah-diri dan minder (introvert) akan memengaruhi citra seniman, terkait dengan mindset dan pola pikir yang keliru, seakan-akan sastra berkualitas tak memiliki pengaruh yang serius terhadap perubahan budaya dan peradaban manusia.

Ada seniman yang melontarkan sentilannya bahwa, “Perilaku kekuasaan dan penguasa bukan hanya kebal, melainkan juga bebal dan menutup telinga dan hatinya terhadap kritik. Menghadapi kebebalan itu dunia seni sungguh kebingungan. Untuk menjadi kritis, seni seakan kehabisan simbol, sinyal, dan inspirasi. Rasanya semua kreativitas seni untuk menyindir, menggugat, dan melawan sudah dikuras habis. Toh semua bagaikan memukul udara kosong.

Di tengah kebebalan, ketulian, kenekatan, dan ketidaktahumaluan ini, lalu apa yang masih bisa diperbuat oleh seni?”

Tetapi, jika Anda membaca novel Perasaan Orang Banten, maka berhati-hatilah. Sebab, kegelisahan dan keresahan yang dihadapi seniman, termasuk bagian dari problem kebudayaan kita yang ditampilkan juga melalui salah satu tokohnya. Tentu saja bukan bermaksud menghina atau mendiskriditkan pihak seniman, tetapi lumrah saja, sebagai bagian dari indentitas keindonesiaan yang perlu diungkap juga ke permukaan. Karena bagaimanapun, kejujuran dan transparansi merupakan prasyarat bagi seniman yang berjiwa merdeka dan menjaga kewarasannya. Di sinilah POB menunjukkan taringnya dengan senyum yang makin sumringah, bahwa untuk mengatasi problem kegelisahan itu bukan melalui faktor-faktor eksternal yang perlu dipersoalkan. Tatapi, musuh sebenarnya yang mesti dilawan berada dan bercokol di dalam diri kita sendiri. Mengatasi musuh dalam diri sendiri bisa menjadi kreativitas yang baik untuk menghidupkan kebudayaan kita.

Di samping berlatar sejarah perpolitikan Indonesia, novel POB juga bicara tentang watak dan karakteristik politisi masakini yang keranjingan popularitas hedonistik. Tak lupa pula menyoal politisi tua yang terkena depresi laiknya post power syndrome (lihat: “Skizofrenia dan Hasrat Berkuasa”, Media Indonesia, 24 April 2019). Novel tersebut seakan mendekonstruksi pelbagai kemapanan yang menghinggapi politisi, termasuk tokoh agama yang pernah kepincut mendambakan dunia politik dan kekuasaan.

Pada prinsipnya, karya sastra yang baik memang tidak gampangan mengklaim kebenaran. Sekali lagi, ia hanya memaparkan perikehidupan sehari-hari masyarakat secara transparan bagaikan menyuguhkan prasmanan. Jadi, semuanya boleh menikmati secara gratis, karena memang sudah terhampar jelas melalui media internet. Banyak juga pihak-pihak tertentu yang menerbitkan ulang dan menjualnya, bahkan di beberapa kampus terjual dalam bentuk fotokopi. “Silakan, monggo wae, anggap aja sedekah,” cetus penulisnya enteng.

Beberapa analis menilai POB sebagai pendobrak kebekuan dan kejumudan sastra Indonesia. Ia menggugat fakta di lapangan, bahwa ternyata banyak topeng dan kepalsuan yang layak ditertawakan. Tujuan yang dicapai pengarangnya barangkali ingin menyodorkan kebenaran atau keyakinan baru, tapi sekaligus menggoyahkan segala keyakinan dan kebenaran palsu yang selama ini berjalan di tengah masyarakat. Jadi, bukan hanya sistem politik dan kekuasaan yang digugat, melainkan juga kesalehan dan kesucian yang sering bernalurikan kemunafikan.

Karena itu, benih-benih kemerdekaan jiwa terasa apabila kita membaca novel tersebut secara teliti. Di sisi lain, ia bisa membawa konsekuensi pengabaian atas hal-hal yang tidak masuk akal. Ini menjadi semacam permisifisme yang secara sosial akan membentuk karakter orang-orang waras di negeri ini, yakni mereka yang tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam persoalan remeh-temeh yang ditimbulkan oleh politik dan kekuasaan. Sebab, orang waras adalah wujud rasionalitas publik yang bisa secara cerdas dan bijaksana ketika berhadapan dengan absurditas danketakrasionalan para penguasa.

Kewarasan yang dimaksud adalah tetap terjaganya kesadaran, ketika situasi dan kondisi sudah terjangkiti kegilaan, stres, dan depresi massal. Di sinilah karya sastra memiliki peran aktif untuk menjaga kewarasan masyarakat Banten, serta mempertahankan kesadaran hidup dan kewaspadaan daya pikirnya. Dari perspektif lain, novel POB telah membuka dan menghamparkan berbagai wacana dan dialektika yang positif. Para penikmat POB dijamin tidak akan mudah terhasut oleh fitnah, hoaks maupun isu-isu negatif yang berseliweran di sekitar kita. Dengan loyalitas dan ketulusannya pada nilai-nilai kemanusiaan, sastrawan punya caranya sendiri untuk melakukan apa yang bisa dilakukan meskipun dalam kondisiterbatas. Hal ini disebabkan, negara dan pemerintah (juga di Banten) seringkali absen saat rakyat membutuhkan perannya, lantaran direpotkan oleh urusan-urusan politik praktis, birokrasi yang tidak efisien, sampai kasus-kasus hukum yang tak berujung-pangkal.

Di Banten ini, memang berat untuk mengakui dan menghargai segala alternatif dan terobosan baru di dunia kesusastraan kita, terlebih jika dihasilkan dari kreasi pendatang baru. Kecuali bagi mereka yang berjiwa terbuka, transparan, dan menjaga kewarasan akal budi dengan sebaik-baiknya. ***

Bagikan:

KOMENTAR

Seberapa Waras Orang Banten?

INILAH SERANG

889 dibaca
Polda Banten Bagikan 2000 Masker ke Pengunjung Wisata Anyer
1636 dibaca
Bansos Non Tunai, Dinsos Tandatangani Kerjasama dengan Bank Banten dan Bjb

HUKUM & KRIMINAL

540 dibaca
Hilangkan Barang Bukti, Pelaku Bakar Motor Hasil Curian
888 dibaca
Ops BKM 2021, Polres Serang Amankan Ratusan Botol Miras

POLITIK

1840 dibaca
Niat Besarkan Organisasi, Eli Sahroni Siap Nyalon jadi Ketua DPW Badak Banten
714 dibaca
Bantu Pengamanan Pilkades Serentak di Lebak, Polres Serang Siapkan 90 Personil

PENDIDIKAN

1191 dibaca
BPPTSI Banten Diminta Awasi Kampus Abal-abal
Top