Penulis adalah Peneliti Program Historical Memory untuk wilayah Banten
Bila seorang peneliti fokus memusatkan para tetua Baduy (Pu’un) sebagai responden, maka akan terbaca kesepahaman mereka yang berulang-ulang kali menegaskan bahwa Kanekes adalah pusat kosmos (jagat raya) dan tempat Nabi Adam dilahirkan. Bagi mereka, urang Kanekes tak lain adalah manusia pilihan Gusti Numahakawasa (Tuhan Yang Maha Kuasa), serta keturunan asli dari Nabi Adam.
Desa Kanekes sebagai ulayat adat Baduy diperkirakan seluas 5.136 hektar, termasuk wilayah teritorial Gunung Kendeng, dengan bentuk perbukitan berlapis tanah vulkanik. Di wilayah perkampungan nampak barisan rumah panggung bertiang kayu, berdinding anyaman bambu, serta beratap rumbia, yang kesemuanya memiliki nilai filosofis tersendiri bagi warga Baduy.
Kesederhanaan dan kesahajaan yang dianut warga Baduy, seakan menghindar dari hiruk-pikuk modernitas. Bukan hanya listrik dan peralatan elektronik yang ditabukan, bahkan pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah ikut ditabukan juga. Di wilayah Baduy Dalem, sudah lumrah jika seorang pengunjung atau peneliti, tidak diperbolehkan membawa sabun, sampo maupun pasta gigi, terlebih menaiki kendaraan. Dari sisi pakaian akan terlihat perbedaan antara warga Baduy Dalem yang mengenakan jamang kurung berwarna putih dengan ikat kepala putih, sedangkan warga Baduy Luar mengenakan jamang kampret kelir berwarna hitam atau biru tua dengan ikat kepala berwarna biru.
Warga Baduy Dalem memiliki kepercayaan bahwa Baduy Luar merupakan benteng yang akan melindungi mereka untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan adat Baduy. Mereka disebutnya sebagai ‘Panamping’ yang artinya pendamping atau penyaring dari unsur-unsur budaya luar (dunia modern). Di bulan Rajab lalu (sekitar Maret 2018) suasana perkampungan nampak sepi dan hening, karena orang-orang Baduy Dalem melaksanakan puasa dan mengirim jampe-jampe (bermunajat). Selama masa puasa itu disebutnya sebagai ‘kawalu’ dengan mengharamkan (pantang) untuk memakan beberapa jenis makanan, termasuk telur dan daging ayam. Juga tak diperbolehkan ada suara musik seperti angklung, buhun dan sejenisnya.
Komunitas Baduy percaya, dalam sepanjang hidup mereka bertugas menjalankan amanah leluhur. Itulah manifestasi hidup dan beribadah bagi mereka. Oleh karena itu, didirikanlah lembaga adat yang menyelenggarakan fungsi dari sistem itu. Segala urusan adat, kepercayaan dan pemerintahan, semuanya melebur di bawah lembaga adat yang dipimpin oleh tiga Pu’un dari tiga kampung keramat di Baduy Dalem. Pu’un itulah yang punya kewenangan mengeluarkan petuah (fatwa) hingga memimpin acara-acara ritual keagamaan.
Pada dasarnya, adat dan kepercayaan Baduy bersandar pada tradisi lisan atau pikukuh lintas generasi. Pikukuh itu mengajarkan relasi manusia dengan pencipta secara vertikal, sedangkan kewajibannya menjaga alam semesta, serta relasinya dengan manusia bersifat horisontal. Merujuk pada ajaran tradisional Sunda, kepercayaan orang Baduy sering disebut Sunda Wiwitan. Berkat fatwa dari para Pu’un itu, akhir-akhir ini mereka diperintahkan untuk memakai istilah ‘Slam Sunda Wiwitan’ yang mengacu dari kata ‘Islam Sunda Wiwitan’. Konon, munculnya istilah ini sebagai penghormatan kepada saudara-saurada mereka sesama Sunda Wiwitan yang berada di luar wilayah Baduy Dalem.
Ada ritual-ritual tersendiri dalam kepercayaan Baduy Dalem, terutama ritual ‘nyelamkeun’ (penyucian), seperti acara sunatan bagi anak laki-laki, sementara perempuannya harus melewati peperan. Pada saat itu mereka harus membaca ikrar atau sadat (syahadat) sebagai pengakuan yang ditujukan langsung kepada Numahakawasa atau Gusti Maha Suci, Nabi Adam, Nabi Muhammad dan umatnya. Coba perhatikan syahadat mereka di bawah ini. Dan bagi Anda sebagai pengagum Habib Rizieq atau Mamah Dedeh dimohon maklum adanya: “Asyhadu syahadat sunda, jaman Allah ngan sorangan, kaduanana Gusti Rosul, katilu Nabi Muhammad, kaopat umat Muhammad, nu cicing di bumi ngaricing, nu calik di alam keueung, ngacacang di alam mokha, salamet umat Muhammad.” (Artinya: Allah hanya Satu, kedua Nabi Adam, ketiga Nabi Muhammad, keempat umat Muhammad, yang tinggal di kerumunan, yang duduk di alam ketakutan, menjelajah di alam nafsu, selamat umat Muhammad.)
Selesai masa kawalu kurang lebih tiga bulan, mereka melanjutkan dengan ritual ‘ngalaksa’ sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang diperolehnya. Kemudian mempersembahkan hasil panen tersebut kepada pemerintah daerah. Inilah yang beberapa hari lalu mereka laksanakan dengan berjalan kaki sepanjang puluhan kilometer menuju Kota Serang, yang mereka namakan dengan tradisi ‘Seba’.
Di samping kewajiban melaksanakan ritual-ritual tersebut, pantangan yang diharamkan warga Baduy terutama berburu binatang, tidak menepati janji, menipu, bersenandung dengan lagu melankolis (membuat terlena), minuman memabukkan, dan lain-lain. Kepercayaan mereka tentang keberadaan surga dan neraka, sangat berhubungan erat dengan suasana hati. “Neraka lahir, dihukum semasa hidup, neraka batin dihukum di akhirat,” demikian kata seorang Pu’un.
Setelah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan pencantuman "Kepercayaan" di kartu tanda penduduk, lembaga adat Baduy justru mempersilakan pencantuman ‘Slam Sunda Wiwitan’ dalam identitas keberagamaan di KTP. Ada sekitar 7.909 jiwa di Kanekes yang sudah wajib memiliki KTP, dan selama ini kolom agama hanya berisi tanda strip (-).
Di samping kawalu, ngalaksa dan seba, ada ritual yang tidak kalah pentingnya dalam tradisi warga Baduy, yakni ‘ngahuma’ (berladang). Banyak jampe-jampe (doa) yang mereka kumandangkan saat berladang, sejak masa menanam hingga masa panen padi. Seorang warga Baduy dianggap sudah aqil balig (dewasa) jika sudah bisa mempraktikkan ngahuma dengan segala ritual dan jampe-jampenya.
Ingin saya akhiri tulisan ini, sambil melihat perspektif lain dari sebagian kepercayaan Baduy yang merasa terpanggil untuk menyebarluaskan ajarannya pada tahun-tahun terakhir ini. Mereka seakan dituntut dalam satu harmoni dan kesenyawaan dengan realitas global, bahwa hal-hal yang bersifat sakral (kudus) menyangkut spiritualitas perlu mereka dakwahkan juga. Selama ini, dunia akademisi kita, baik dari sisi riset dan penelitian lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat sosiologis dan antropologis. Namun, bagaimanakah orang Baduy memiliki keyakinan dan kepercayaannya, seakan menjadi tabu untuk dipersoalkan.
Tapi sekarang, mereka tidak hanya bersikap jujur membicarakan hal-hal positif dari budaya dan peradaban mereka, tapi juga harus terbuka terhadap hal-hal negatif yang mereka alami dalam kesehariannya. Misalnya, soal jumlah kematian anak dan ibu melahirkan di tanah Baduy yang konon terbilang tinggi. Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten, setelah membentuk Forum Rencana Kerja (Renja) beberapa bulan lalu, masih juga belum memberikan data yang akurat mengenai kinerja mereka dalam menangani kesehatan dan jumlah kematian bagi anak dan ibu melahirkan. Belum lagi para warga yang terserang penyakit degeneratif akibat kenaikan suhu udara dan pemanasan global, serta virus-virus terbaru yang menyerang tubuh mereka.
Persoalan pendidikan bagi generasi muda, dan kesehatan warga Baduy, menjadi sangat penting dipersoalkan karena menyangkut pertumbuhan populasi, hak hidup dan kesiapan generasi muda dalam menghadapi tantangan zaman. Hal ini menjadi tanggungjawab semua pihak, agar tidak bicara melulu di wilayah keindahan dan kearifan lokal sambil kasak-kusuk mengeksploitasi dan melestarikan kebodohan dan keterbelakangan mereka.
Bacalah dengan seksama, pahamilah secara mendalam, agar kita mampu melihat mereka bukan hanya dari satu sudut pandang, tetapi melalui wawasan luas dari berbagai macam perspektif. (*)