IBC, JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi perbincangan usai mengunggah foto sedang membaca buku "How Democracies Die" di media sosialnya. Apa isi buku 'How Democracies Die' ini?
Menurut data dari situs Goodreads yang dilansir dari detik.com, buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2018 oleh Crown Publishing Group. Buku ditulis oleh dua ilmuwan politik terkemuka, profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Untuk edisi bahasa Indonesia-nya sudah diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama dengan judul 'Bagaimana Demokrasi Mati'.
Dalam bukunya, kedua ilmuwan politik ini menyoroti fenomena kemunculan sejumlah pemimpin yang terkesan 'diktator', yang justru muncul melalui hasil pemilu. Mereka berpendapat bahwa kini demokrasi mati bukan karena pemimpin diktator--jenderal militer--yang memperoleh kekuasaan lewat kudeta, melainkan justru oleh pemimpin yang menang melalui proses pemilu.
Porsi buku ini banyak mengulas soal fenomena yang terjadi di Amerika Serikat. Yakni ketika Donald Trump, yang diusung oleh Partai Republik, menang pada Pilpres Amerika Serikat tahun 2016. Trump unggul atas kandidat Partai Demokrat, Hillary Clinton. Padahal banyak lembaga survei lokal yang memprediksi kekalahan Trump. Trump diduga kuat menang karena berhasil memainkan isu rasisme kulit hitam dan menebarkan ketakutan melalui hoax.
Begitu terpilih, Trump langsung mengeluarkan pernyataan kontroversial membuatnya terkesan seperti diktator. Beberapa di antaranya pernyataan perang yang diumumkan lewat akun Twitter pribadinya, rencana membangun tembok perbatasan Meksiko-Amerika Serikat; kebijakan luar negeri Korea Utara dan Afghanistan yang memicu perang; reformasi pajak; sikapnya arogan kepada media yang mengkritiknya; ketidakpercayaannya pada fenomena perubahan iklim; hingga yang paling kontroversial soal pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel
Selain itu, buku 'How Democracies Die', juga mengulas soal fenomena serupa di Brasil, Filipina, hingga Venezuela. Fenomena pemimpin 'diktator' yang menang lewat pemilu juga terjadi di Peru, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Turki, dan Ukraina.
Membajak Demokrasi Secara Legal
Kematian demokrasi juga digambarkan sebagai pembajakan demokrasi secara legal. "Banyak upaya pemerintah membajak demokrasi itu legal, dalam arti disetujui lembaga legislatif atau diterima lembaga yudikatif. Boleh jadi upaya-upaya itu bahkan digambarkan sebagai upaya memperbaiki demokrasi--membuat pengadilan lebih efisien, memerangi korupsi atau membersihkan proses pemilu," tulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt
"Koran-koran masih terbit tapi sudah dibeli atau ditekan sehingga menyensor diri. Rakyat terus mengkritik pemerintah tapi lantas menghadapi masalah pajak atau hukum lainnya," lanjutnya.
Menggandeng Demagog Ekstremis
Lantas, bagaimana kematian demokrasi itu bisa terjadi? Dalam buku ini dijelaskan bahwa kematian demokrasi bisa terjadi justru ketika kaum demagog ('provokator') ekstremis dibawa masuk ke dalam arus utama perpolitikan.
Pendapat kedua ilmuwan itu berdasarkan pengalaman terpilihnya Trump dalam Pilpres AS 2016. Trump dianggap sebagai demagog yang telah merusak demokrasi AS, meskipun negara itu memiliki konstitusi yang kokoh. (Detik.com/IBC)***