lBC, Jakarta - Keluarga mantan Presiden Soeharto yang direpresentasikan keluarga Cendana, dalam Pemilu 2019 ini kembali turun gunung. Padahal, dalam pemilu sebelumnya keluarga Cendana juga pernah mencoba peruntungan, namun gagal. Bagaimana prospek dinasti politik ini dalam Pemilu 2019 mendatang?
Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto kembali turun gunung. Dua kali momentum politik di Partai Golkar saat perebutan kursi Ketua Umum Partai Golkar, tak membuat nyalinya kendur. Putera orang kuat selama orde baru itu kini justru didapuk menjadi Ketua Umum Partai Berkarya, partai baru peserta pemilu 2019.
Bertepatan dengan peringatan Surat perintah Sebelas Maret (Supersemar), Tommy secara aklamasi ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Berkarya. Dalam pernyataan politiknya usai ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Berkarya, Tommy menyinggung soal situasi kesejahteraan masyarakat era kini dengan era saat ayahnya berkuasa. "Rakyat yang menilai zamannya siapa yang lebih enak," cetus Tommy di sela-sela Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III Partai Berkarya akhir pekan kemarin.
Langkah Tommy yang terjun ke politik praktis ini tak ubahnya simbol bagi keluarga Cendana yang tak patah arang. Meski pernah gagal dalam peruntungan politik namun tak menyurutkan semangat keluarga penguasa selama 32 tahun era orde baru ini.
Jejak politik keluar Cendana dalam politik praktsi pasca-reformasi bukan kali ini saja terjadi. Saat Pemilu 2004 lalu, Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) pimpinan mantan KASAD R Hartono secara terbuka mencalonkan putri sulung Pak Harto, Siti Hardijanti Rukmana sebagai calon Presiden.
Sayang, kendati membawa kebesaran nama keluarga Cendana, partai ini hanya bisa meraih 2,11% suara dalam Pemilu 2004. Lebih tragis lagi, dalam Pemilu 2009, partai ini hanya mampu meraih suara 1,40 persen. Akibatnya, partai ini tidak lolos parliamentary threshold (PT).
Tentu, situasi politik Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengukur capaian Partai Berkarya yang saat ini dinahkodai putera kesayangan Pak Harto ini. Setidaknya, jarak berakhirnya orde baru pada tahun 1998 dengan saat ini telah berlangsung 20 tahun lamanya. Rentang waktu yang tidak bisa disebut sebentar. Setidaknya, stigmatisasi orde baru tak sekencang saat Pemilu 2004 yang baru enam tahun berselang.
Jargon "Enak Jamanku" dengan latar foto Pak Harto memang belakangan muncul di berbagai sudut masyarakat. Jargon yang memiliki makna perbandingan situasi dan keadaan kesejahteraan rakyat saat ini dengan di era orde baru bisa saja menjadi andalan partai ini untuk menarik pemilih.
Hanya saja, pertarungan pemilu tak semudah teori di atas kertas. Apalagi, Pemilu 2019 mendatang, jumlah pemilih pemula hampir separoh lebih. Pemilih pemula ini tak lain saat Pak Harto lengser belum dilahirkan atau baru dilahirkan. Dengan kata lain, mengusung jargon "enak jamanku" menjadi tidak relevan bila dimaksudkan untuk menyasar pemilih pemilu. Toh mereka tidak mengetahui jaman Pak Harto.
Tommy dan aktivis Partai Berkarya harus memeras otak dan bekerja nyata di lapangan. Mengajak publik beromantisme era Pak Harto bisa saja mampu mendongkrak suara. Namun perlu dicatat, figur pemilih Pemilu 2019 juga menjadi perhatian partai ini.
Belajar dari kegagalan PKPB, partai besutan Mbak Tutut, Partai Berkarya harus menghadirkan konsepsi baru sekaligus inovasi dalam pemikiran pembangunan bangsa. Bila tidak, Pemilu 2019 hanya menjadi ajang mempermalukan Pangeran Cendana saja.[lnilahcom]