lBC, Serang - Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina menyelenggarakan kuliah umum virtual bertema “Pendidikan yang Berkebudayaan dalam Konteks Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan” dengan menghadirkan Yudi Latif (intelektual Muslim, pemikir kebangsaan, penulis buku Pendidikan Yang Berkebudayaan), M. Wahyuni Nafis (Ketua Nurcholusi Madjid Society) dan Tia Rahmaniah (Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina), dan sebagai keynote speech disampaikan, Fatchiah Kertamuda, wakil rektor bidang akademik dan kemahasiswaan Universitas Paramadina.
Fatchiah Kertamuda menyampaikan bahwa, gagasan pendidikan yang berkebudayaan sangat erat dengan ide-ide yang diusung oleh Alm Nurcholish Madjid (Cak Nur), pendiri Universitas Paramadina.
Dalam sesi paparan, Yudi Latif menerangkan bahwa, pendidikan yang berkebudayaan pada hakikatnya adalah pendidikan budi pekerti. Merujuk pada gagasan Ki Hajar Dewantara, Yudi Latif memaparkan bahwa hakikat pendidikan adalah proses menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dari kehidupan sepanjang hayat atau menjadi insan kamil. “Dan jantung pendidikan adalah budi pekerti.” Ujar Yudi pada Rabu, 25 November 2020.
Mengutip Ki Hajar Dewantara, Yudi Latif menjelaskan bahwa budi terkait dengan dimensi batin, yakni pikiran, perasaan dan kemauan atau cipta, karsa dan rasa. Sedangkan pekerti berhubungan dengan aspek lahir, yaitu daya. “Budi pekerti sama dengan budi daya atau budaya,”katanya.
Dengan demikian, pendidikan budi pekerti itu pendidikan berkebudayaan yang mengintegrasikan daya pikir, daya rasa, daya karsa, pikiran, perasaan, dan kemauan yang melahirkan daya, yang mendorong perbuatan yang baik, benar dan indah. Dalam pendidikan yang berkebudayaan, apaakah yang dikembangkan? (1) olah pikir (2) olah rasa (etika, estetika, spiritualitas). (3) olah karsa (kreativitas). (4) olah raga (ketangkasan).
Bagaimana cara mengembangkannya? Harus jiwa merdeka untuk menangkap dari mana pun mata air kebajikan itu muncul, terutama dari tradisi (masa lalu). Tak ada cerita bangsa maju bangsa yang tak mampu merawat warisan terbaik dari masa lalunya. Cak Nur sendiri mengapresiasi hal modern sekaligus tradisi.
“Nah, tradisi diangkat sejauh mampu mengembangkan mutu budaya, mutu keadaban, mutu persatuan. Selain itu, dibutuhkan sikap terbuka hal baru dari dalam maupun luar. Manusia merdeka adalah manusia berbudaya. manusia berbudaya itu merawat warisan terbaik dari masa lalu, terbuka pada unsur-unsur baru sejauh mengembangkan mutu budaya, mutu peradaban, dan mutu persatuan,”terangnya.
Selanjutnya, M. Wahyuni Nafis, menambahkan perspektif Keparamadinaan. Menurutnya, ada empat hal penting dari nilai keparamadinaan yang kontekstual dengan pendidikan yang berkebudayaan. Pertama, iman yang menyadarkan manusia akan hakikat dirinya sebagai makhluk spiritual. Kedua, ilmu pengetahuan. Manusia harus bersikap dan bertindak berdasar pengetahuan, bukan ketidaktahuan. “Ketiga, amal. Ilmu harus diamalkan, diterapkan dalam sejarah. Keempat, akhlak atau budi pekerti yang menuntun manusia menjalin koneksi yang baik antar sesamanya,”ujarnya.
Senada dengan Yudi Latif dan M. Wahyuni Nafis, Tia Rahmaniah, mempertegas bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada pengembangan kemampuan dan akhlak yang ditujukan agar terjadi perubahan kognitif, afektif, psikomotor. “Oleh karena itu, siapa pun yang ingin jadi pendidikan perlu mengenal sisi psikologis agar tepat sasaran,”ujarnya.
Selanjutnya, dalam proses pendidikan peserta didik didorong untuk aktif, tak pasif, dan responsif. Pendidikan harus memberi reward atas respon bentuk pengakuan, pujian dan lainnya. Jadi, ada interaksi dua arah pendidik dan peserta didik. Dengan kata lain, metode pengajaran diarahkan agar peserta didik menjadi manusia otonom dan kreatif.
Oleh sebab itu, para pendidika perlu mengetahui seputar perkembangan kognitif manusia, gaya belajar dan sebagainya sebagai modal dalam proses pendidikan yang berhasil. Tia Rahmania mengutip pernyataan Cak Nur bahwa,”pendidikan yang berhasil akan menjadi sumber energi masyarakat bangsa dan negara”.[Rls]