Oleh: KH. Chudori Sukra
Pengasuh Pondok Pesantren Riyadlul Fikar, Jawilan, Serang
MERINDING saya menyaksikan film The Shape of Water yang berhasil meraih 13 nominasi Oscar, termasuk sutradara, skenario dan film drama terbaik tahun ini. Film yang disutradarai Guellirmo del Toro ini menghentakkan tali renungan saya, betapa sulitnya mencari orang yang mau berbaik sangka (husnudzon) kepada makhluk Tuhan di zaman yang diselimuti oleh peradaban perang dingin ini.
Film tersebut menunjukkan pada kita bahwa hakikat dari paradigma perang dingin yang digembar-gemborkan Amerika sebagai "sudah berakhir", pada hakikatnya terus berjalan dan esensinya tetap valid hingga saat ini. Deklarasi tentang usainya perang dingin yang telah ditandatangani Presiden Amerika dan Rusia beberapa dasawarsa lalu, seakan hanya retorika politis belaka. Film The Shape of Water sekaligus menohok para pemain dan petualang politik di republik ini, dalam suatu era yang dikatakan “jaman reformasi”. Namun sebenarnya tak lepas dari mata rantai antara induk semang (negeri adikuasa) bersama abdi-abdi lokalnya (negeri dunia ketiga).
Dalam pentas politik nasional, wawasan paradigma perang dingin dapat diibaratkan sebagai perangkat lunak (software)yang masih terus berjalan dan berpraktik hingga saat ini. Realitas itu terrefleksi sepenuhnya, karena segenap permesinan, aparat hingga ke sel-sel paradigma Orde Baru sebagai pengemban dan pelaksana paradigma perang dingin, masih utuh dan kukuh, serta berfungsi dalam seluruh strata kehidupan nasional kita.
Beda dengan film tentang sejarah Indonesia (The Act of Killing) garapan Joshua Opperheimer, yang juga pernah masuk dalam jajaran nominasi Oscar pada 2014 lalu. Film The Shape of Water lebih bermuatan sosial yang mengandung aspek humanitas tinggi. Diperankan seorang tokoh wanita tunawicara yang memiliki sikap toleransi, bukan saja kepada sesama manusia melainkan terhadap sesama makhluk Tuhan lainnya. Pesan-pesan moral dalam film tersebut mengandung hikmah yang universal, mengajarkan kita semua agar bersikap rendah-hati, berani untuk bercermin diri agar dapat rujuk dan berdamai dengan masa lalu.
Film-film yang mengandung religiusitas tinggi seperti itu, seakan menegur kita semua bahwa, bukan saatnya lagi orang Indonesia berdebat soal kebenaran dan kesalahan mazhab atau aliran kepercayaan tertentu. Tetapi di abad historia ini, masyarakat dunia hanya akan bertanya seberapa besar kemaslahatan diri kita bagi pembangunan peradaban umat. Terkait dengan itu, selayaknya kita nyatakan salut kepada para jurnalis, sejarawan dan budayawan yang tetap tegar dan berani mengambil risiko “dimusuhi” oleh kepentingan politik tertentu (status quo). Namun mereka terus bergerak, istiqomah berkarya, konsisten menyuarakan kebenaran. Meskipun tidak jarang dihadapkan pada ancaman mental persekusi, yang pada titik tertentu bisa mengancam keselamatan mereka.
Sebagian jurnalis dan budayawan itu memahami bahwa stigma politik Orde Baru yang membuat sebagian masyarakat terjangkiti delusi paranoid hingga schizophrenia, perlu diberi pendidikan dan penyadaran kepada proses pencerdasan dan pembangunan akal sehat mereka. Ketika bangsa ini sedang dilanda kegilaan pada dunia dan materi, godaan-godaan untuk melemahkan mentalitas kian menjadi-jadi. Godaan itu ingin menjauhkan pikiran umat dari kehidupan yang realistis, seakan-akan menghendaki agar bangsa ini kehilangan akal sehatnya.
Di sisi lain, pendidikan dan pengajaran ikut dibangun di atas landasan dan asas kehidupan duniawi, bukan atas dasar jati diri dan falsafah bangsa. Semua orientasi dan proses pendidikan akhirnya bermuara pada gaya hidup hedonis yang menghamba pada kesuksesan politis dan popularitas duniawi. Pelajar-pelajar menjadi tak terdidik, hingga di kemudian hari melahirkan intelektual-intelektual tukang semata. Mental warisan Orde Baru ini harus diakui dengan jujur oleh masyarakat kita yang mudah tergiur dengan cara-cara instan untuk meraih sesuatu. Tak usah heran bila kita menyaksikan di antara mereka yang masih sibuk dengan persaingan kepentingan duniawi. Rebutan kedudukan dan kursi politik, gila harta dan keserakahan. Hal ini sangat berkaitan dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa cinta dunia adalah pangkal dari segala kerusakan dan ketidakseimbangan kosmik (“hubbuddunya ra’su kulli khathi’ah”).
Secara implisit, Albert Einstein pernah menyatakan bahwa perbedaan antara orang baik dan orang jahat adalah bahwa, “Sesungguhnya ambisi orang baik itu ada batasnya, karena tidak setiap yang terjangkau oleh kekuatan otak, boleh dilakukan manusia dengan sesuka hatinya.” Hal ini mengandung arti bahwa kejahatan manusia bersumber dari kebodohan, karena orang-orang bodoh selalu saja tidak mengenal batas-batas kewajaran.
Sebagai pendidik dan pengasuh di lingkungan pesantren, saya lebih cenderung mengacu dari pernyataan Ayatullah Khomeini mengenai beberapa kriteria orang-orang bodoh. Sebagai pemimpin spiritual Iran, saat itu ia berceramah di hadapan rakyatnya bahwa orang bodoh dapat menyakiti orang lain tanpa menyadari efek dari perbuatannya. Selanjutnya, orang bodoh selalu berbuat salah serta tidak mau mencari tahu di mana akar permasalahannya. Selain itu, orang bodoh juga dapat diperalat dan dikendalikan orang lain untuk berbuat kerusakan.
Dengan otoritasnya sebagai pemimpin revolusi di republik Iran, Ayatullah Khomeini menyadari bahwa sebuah revolusi mental tidak akan menghasilkan apa-apa jika masyarakatnya masih buta politik dan terbenam dalam kebodohan. Maka, yang harus diberi perhatian sepenuhnya adalah bagaimana membangun kesadaran baru, hingga mencapai kualitas moral bagi kemaslahatan banyak orang.
Kita menunggu gerakan yang lebih realistis dari pihak pemerintah, suatu keputusan politik yang dapat memperkokoh solidaritas dan kesetiakawanan sosial untuk bangkit bersama-sama. Secara pribadi, saya pernah menaruh harapan baik ketika mendengar gagasan tentang revolusi mental, mengingat mentalitas masyarakat kita sejak 1965 seakan-akan jalan di tempat. Selama ini kita tidak ke mana-mana. Sistem political will yang menyusup ke dunia pendidikan, membuat psikologi bangsa ini terbelah antara kutub ekstrim pemuja dan pembenci, atau kutub ketiga yang menjadi penonton yang mencemooh kubu pemuja dan pembenci. Sementara peradaban yang humanis dan toleran kian menjadi anutan umat manusia, bahkan solidaritas internasional makin digaungkan oleh semua bangsa-bangsa dunia.
Sebagai warga Banten, kita semua tahu, sesungguhnya kebencian manusia berpangkal pada kebodohan yang sulit ditanggulangi. Ia mudah saja diperalat oleh kaum politisi dan penguasa, melalui bisingnya persaingan serta kampanye hitam antar kandidat dengan mengenyampingkan nalar dan akal sehatnya. Sebagian politisi begitu entengnya menikmati popularitas dengan menyuarakan kebencian. Mereka memiliki pendukung yang sangat militan. Mereka mudah mengklaim sesuatu secara hitam-putih. Sedangkan pemerintah yang baik tentu akan berkorban untuk melayani umat, berupaya sekeras-mungkin untuk mencerdaskan dan mendewasakan rakyatnya.
Kita harus memahami bahwa, yang namanya pemimpin, berbuat lurus dan adil pun tetap akan ada pihak tertentu yang menentang dan memusuhuinya, apalagi berbuat curang. Untuk itu, tidak ada pilihan lain bagi pemimpin yang adil selain bertindak di atas rel-rel kebenaran dan keadilan. Sedangkan bagi penguasa korup dan zalim, ia akan terus berupaya melestarikan kebodohan dan kebencian sebagai pilihan politiknya. Karena dengan memelihara orang-orang bodoh dan para pembenci itulah, popularitas akan terus dinikmati, seakan-akan tahta dan kekuasaan akan dapat bertahan abadi untuk selama-lamanya. Naudzu billahi min-dzalik. (*)