lB, Jakarta - Wacana pergantian Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) digulirkan Fahri Hamzah, mantan kader PKS yang saat ini menjabat Wakil Ketua DPR RI. Gagasan ini tentu menabrak tradisi di internal PKS yang telah kukuh dibangun belasan tahun. Ada reformasi di internal PKS atau justru makin menjauhkan Fahri dari komunitas partai dakwah tersebut?
Tak ada angin tak ada hujan, Fahri Hamzah melontarkan gagasan perubahan kepemimpinan di internal PKS. Menurut dia, PKS sebagai partai Islam yang bagus namun terkendala di faktor kepemimpinan yang tidak cakap.
"Pimpinannya yang sekarang tidak punya kapasitas untuk membawa partai ini lebih maju. Karena itu saya bilang partai ini akan bagus kalau pimpinannya diganti dulu," kata Fahri di gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta pada Selasa, 6 Juni 2017.
Pernyataan Fahri ini tentu publik mudah membacanya tidak terlepas dari rentetan perseteruan DPP PKS dengan Fahri Hamzah yang telah berjalan hampir setahun lebih. Fahri Hamzah secara resmi telah dipecat dari keanggotaannya di partai. Salah satu perkara utama yang menyebabkan Fahri dipecat karena sikap dan tindakannya tidak lagi sesuai garis kebijakan partai. Hingga saat ini, pemecatan Fahri Hamzah tersebut masuk dalam proses hukum.
Meski tidak menyebut siapa yang dimaksud sebagai pimpinan PKS, namun merujuk stuktur di internal PKS setidaknya ada dua pimpinan yang berada dalam struktur PKS yakni Presiden PKS M Sohibul Iman dan Ketua Majelis Syura PKS Habib Salim Jufri Assegaf. Meski, jika dirunut lebih detil lagi, operasional eksekutif partai berada di tangan Presiden PKS. Konteks pernyataan Fahri jika dikaitkan dengan stuktur partai, sosok Sohibul Iman yang dibidik Fahri.
Lebih lanjut Fahri menyebutkan dalam memimpin partai harus dikendalikan oleh figur yang memiliki jejaring akar rumput yang kuat serta memiliki karakter terbuka. "Kalau yang 'jaim-jaim' repot lah. Perlu orang yang mengakar ke bawah, bisa membawa semangat bagi kader. Kalau yang ini terus terang, lemas orangnya," sebut Fahri.
Pernyataan Fahri ini mengingatkan gugatan dirinya atas penghukuman DPP PKS yang menilai pernyataan Fahri keras yang tidak sejalan dengan kebijakan partai. Kala itu Fahri berkilah, gaya dirinya tidak bisa dihakimi dan diadili yang kemudian diberi sanksi. "Kenapa kau takut dengan gaya? apakah kau sudah mati gaya?" cuit Fahri melalui akun Twitternya ihwal penghakiman PKS terhadap dirinya salah satunya disebabkan soal gaya bicaranya.
Sejak kasus pemecatan dirinya mencuat, Fahri memang memiliki tendensi secara khusus pada sosok Presiden PKS Sohibul Iman. Seperti ia membandingkan dirinya yang menjadi pendiri PKS dengan Sohibul Iman yang bukan menjadi pendiri PKS. Fahri juga menyebut dirinya menjadi anggota DPR lebih lama dibanding Sohibul Iman.
Tudingan Fahri terhadap kepemimpinan Sohibul Iman tentu perlu diuji. Soal gaya Sohibul Iman yang tidak garang seperti Fahri Hamzah atau Anies Matta tentu bisa diperdebatkan. Apalagi bila melihat latar belakang Sohibul Iman berasal dari tatar Sunda, pernyataan meledak-ledak ala Fahri tentu sulit dijumpai.
Soal kelesuan di internal PKS juga perlu diuji. Ukurannya cukup mudah, perhelatan berbagai pilkada seretak pada 15 Februari 2017 lalu dapat dijadikan alat ukur kepemimpinan Sohibul Iman dalam menggerakkan mesin partai. Pilkada DKI Jakarta yang menguras energi nasional, dapat menjadi rujukan yang mudah terkait prestasi PKS dan Sohibul Iman. Suka tidak suka, peran Partai Gerindra dan PKS memiliki andil yang tidak kecil dalam kemenangan pasangan Anies-Sandi dalam pilkada DKI beberapa waktu lalu.
Sementara terpisah, anggota Majelis Syura PKS Tifatul Sembiring, Fahri Hamzah tak lagi berhak turut campur urusan internal PKS. Ia beralasan, Fahri bukan lagi kader PKS. "Fahri nggak boleh ngomong gitu. Dia bukan anggota PKS lagi. Itu yang saya bilang ke Fahri, nggak usah ikut campur urusan partai," seru mantan Presiden PKS ini.
Jurus mabuk ala Fahri yang menyuarakan perubahan kepemimpinan di internal PKS ini justru akan semakin memperuncing konflik di internal PKS. Secara stuktural dan kultural Fahri telah terlempar dari arena panggung PKS. Serangan personal ke pimpinan PKS merupakan cara yang tak pernah dijumpai di internal PKS, kecuali yang pernah dilakukan oleh Yusuf Supendi saat menyerang sejumlah pimpinan PKS seperti Anis Matta dan lain-lainnya kala itu. [lnilahcom]