TAK menunggu siang untuk mencari jalan keluar. Lima orang yang saling bersahabat itu kompak menuju rumah seorang alim untuk memohon nasehat ke mana mereka harus pergi untuk menenangkan kegalauan hati. Lima orang itu secara kompak memiliki musibah, walau jenis musibahnya beragam. Mereka semua sama dalam galau dan sama dalam jurang keputusasaan.
Orang pertama tertimpa musibah penyakit rombongan: gagal ginjal, hepatitis, TBC dan kanker. Orang kedua kehilangan pekerjaan dan kehilangan anak semata wayang. Orang ketiga kehilangan isteri karena mengejar materi dengan cara tak benar. Orang keempat difitnah habis-habisan oleh mulut orang-orang yang tak bertanggungjawab. Orang kelima, ini yang paling parah, tertimpa empat musibah yang dialami empat temannya itu.
Kisah dalam tulisan ini sungguh tak bisa mewakili derita mereka. Mereka benar-benar menderita sampai-sampai pilihan terbaiknya adalah keinginan untuk mati saja. Baru saja duduk di serambi rumah sang Alim, mereka disambut dengan senyuman oleh tuan rumah sambil berkata lirih: "Senyuman itu lebih mampu mengusir galau ketimbang keluhan dan raut wajah muram." Mereka memaksakan diri untuk tersenyum.
Sang Alim kemudian memberikan nasehat "Kalian wajib hadir ke majelis dzikir dan majelis ilmu. Dengannya dada akan terasa lapang, luas, jembar. Karena majelis semacam itu merupakan TAMAN SURGA.
Sepertinya lima orang itu tertembak hatinya, karena kebiasaannya adalah berbagi keluhan di media sosial dan di warung-warung kopi sambil main domino dan catur. Kebiasaan lainnya adalah menghibur diri di tempat hiburan dan semacamnya.
Lima orang itu langsung disuruh pulang. Mereka saling pandang dan kemudian berkata: "Izinkan kami tinggal disini, berdzikir dan mencari ilmu di sini bersamamu." Bagaimana jawab sang tuan rumah? Sayangnya, kisah ini harus terpotong karena beliau sedang ditelepon isterinya. [lnilah]