Oleh : Cahya Trie Raida
Mahasiswa semester 1 Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Ada dua kasus atau berita yang akhir-akhir ini begitu menarik perhatian saya, bahkan masyarakat dan media pun ramai-ramai memperbincangkannya. Kedua kasus tersebut yaitu mengenai keputusan Jessica Wongso yang divonis 20 tahun penjara, dan sidang keputusan batas umur capres dan cawapres.
Kemudian, saya mulai mencari tahu apa sih yang menyebabkan kedua kasus tersebut sehingga bisa menjadi sangat ‘kontroversial’? Saya menonton beberapa berita di televisi, podcast dengan bintang tamu yang terkait, membaca komentar-komentar netizen di media sosial, dan terutama pada kasus Jessica saya juga menonton sebuah dokumenter yang berjudul ‘Ice Cold’.
Ketika memahami lebih lanjut, ada satu hal yang saya dapat, yaitu betapa bobroknya sistem penegakan hukum yang ada di Indonesia ini. Keduanya memiliki kesamaan karena didalamnya terdapat pembahasan tentang keterkaitan antara politik dengan kekuasaan.
Pada sidang keputusan capres dan cawapres 16 Oktober 2023 kemarin, keputusan yang dihasilkan yaitu batas usia capres dan cawapres boleh berumur kurang dari 40 tahun dengan catatan pernah atau sedang menduduki jabatan yang di pilih melalui pemilihan umum.
Nah, pada keputusan ini seolah-olah memberikan ’peluang’ kepada Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anak dari presiden Joko Widodo untuk menjadi cawapres mendatang. Dan benar saja, diumumkan bahwa Gibran resmi maju menjadi cawapres bersama dengan Pak Prabowo sebagai capres untuk Pemilu 2024.
Kasus ini juga kerap dikaitkan dengan yang namanya ‘Politik Dinasti’ karena ternyata sosok yang memipin persidangan putusan ini merupakan paman dari Gibran sendiri. Jadi… apa mungkin memang ada ‘campur tangan’ dibalik hasil keputusan ini? Apa mungkin ada penyalahgunaan kekuasaan dalam sistem politik yang ada di Indonesia?
Lalu pada kasus Jessica Wongso, terlepas dari apakah Jessica memang pelaku yang sebenarnya atau bukan, yang menjadi sorotan disini ialah betapa tumpulnya sistem hukum yang ada di Indonesia.
Jessica dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun tanpa bukti yang kuat, saksi dan bukti yang seakan dimanipulasi, serta adanya isu bahwa terdapat pihak-pihak pemegang kekuasaan yang menjadi ‘teman akrab’ dari pihak ayahnya Mirna yang ikut andil dalam keputusan sidang ini. Sehingga kekuasaan disini dapat dikatakan sangat berpengaruh untuk ikut andil dalam memengaruhi proses pengambilan keputusan, yang dimana hasil keputusan tersebut malah hanya menguntungkan dirinya saja atau kelompoknya tertentu.
Kekuasaan sebenarnya tidak selalu digunakan untuk tujuan yang tidak bail, itu semua tergantung dari bagaimana tujuan yang ingin dicapai oleh si pemegang kekuasaan. Jika yang ingin dituju adalah hal yang baik maka cara yang dipergunakan pun akan baik, dan sebaliknya jika yang ingin dituju adalah hal yang buruk maka cara yang dipergunakan pun akan buruk. Kekuasaan dalam politik dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan kebaikan dan kebenaran kepada masyarakat.
Tetapi, pada kenyataannya dalam dunia politik ini, orang-orang yang diberikan amanah lah yang malah mengkhianati amanah tersebut, yang artinya sama saja megkhianati rakyat yang sudah memberikan kepercayaan kepadanya. Mereka lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri diatas kepentingan rakyat. Hal ini berhubungan dengan banyaknya stigma atau pandangan yang mengatakan bahwa politik itu selalu berhubungan dengan citra yang negatif, padahal sebenarnya menurut saya yang salah bukanlah politiknya itu sendiri, tetapi bagaimana orang-orang yang bekerja di dalamnya.
Seseorang yang memiliki kekuasaan seharuusnya mampu untuk merealisasikan berbagai cara supaya dapat mensejahterakan rakyat sebesar-besarnya dan memajukan kehidupan ke arah yang lebih baik, bukannya malah mengakibatkan ketidakadilan bagi masyarakat. Seharusnya kekuasaan yang dimiliki digunakan untuk mengatur kepentingan bersama-sama, bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri apalagi hanya untuk kepentingan kelompok tertentu.(**)