Penulis: Siti Nurholifah
(Mahasiswa Semester 1 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi)
Pada masa penjajahan Belanda terjadi kolaborasi antara sistem kolonialisme yang dibawa oleh Belanda dengan sistem feodalisme yang memang sudah ada sebelum kedatangan bangsa Eropa. Masyarakat yang tadinya sudah mendapat tekanan dari feodalisme para elite pribumi, kemudian bertambah mendapat tekanan dari kolonialisme penjajahan Belanda.
Belanda yang pada awalnya mengunjungi Nusantara hanya untuk keperluan jual beli rempah-rempah, kemudian memanfaatkan keadaan yang menguntungkan di mana para elite pribumi ternyata memakan rakyatnya sendiri. Belanda melihat keadaan yang mendukung melahirkan dorongan untuk memanfaatkan rakyat pribumi untuk keuntungan Belanda. Maka terjadilah perpaduan antara kolonialisme Belanda dengan feodalisme yang sudah ada di Nusantara.
Belanda menjalin kerja sama dengan raja-raja pada masa itu untuk mendapatkan keuntungan dengan melakukan kolonial feodalisme. Seperti contohnya dalam pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Tidak seperti yang kita ketahui dari buku-buku pelajaran sejarah sekolah bahwa Gubernur Daendels tidak memberikan upah untuk para pekerjanya. Namun, kenyataannya Gubernur Daendels memberikan upah untuk para pekerja yang kemudian dikorupsi oleh para bupati pribumi.
Awalnya, para bupati pribumi merasa takut jika Gubernur Daendels mengetahui perbuatan tersebut. Mereka takut dihukum dengan pencabutan pangkat dan akan digantikan oleh yang lain. Namun, Gubernur Daendels yang sebenarnya sudah mengetahui hal tersebut, memilih untuk tidak ikut campur dan menganggap itu permasalahan antara orang-orang pribumi.
Pada masa tanam paksa juga terdapat kekejaman yang dilakukan dari pihak elite pribumi. Tanam paksa pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes Van Den Bosch, menerapkan peraturan tanam paksa yang kemudian dalam penerapannya oleh elite pribumi sangat menyimpang dari yang seharusnya.
Pada masa tanam paksa, Belanda hanya mewajibkan tiga tanaman yang wajib di tanam (nila, kopi, dan lada) untuk tanaman yang lain diberi kebebasan untuk ditanam. Dalam kebijakannya, para pekerja hanya bekerja selama 75 hari. Keuntungan yang didapat jika di atas pembayaran pajak, maka pajak akan diambil, selebihnya diberikan kepada para pekerja. Kegagalan panen yang bukan kesalahan para pekerja tidak ada kewajiban untuk ganti rugi dan pembayaran pajak. Namun, pada masa itu karena Belanda mengetahui para pekerja pribumi tidak akan patuh pada orang-orang Belanda, maka pengawas dari kegiatan tanam paksa tersebut diawasi oleh para elite pribumi.
Elite pribumi mengubah kebijakan tanam paksa dalam penerapannya yang dibuat oleh Belanda menjadi melenceng dan mengeksploitasi para pekerja kaum pribumi. Dari yang semula hanya diwajibkan tiga jenis tanaman yang wajib ditanam menjadi hampir semua jenis tanaman wajib tanam. Semula hanya seperlima dari lahan tanah yang akan di tanami, menjadi 80% lahan tanah yang wajib untuk ditanami. Awalnya waktu bekerja hanya pada waktu siang, kemudian menyiksa menjadi waktu kerja siang dan malam. Semula waktu bekerja tidak sepanjang tahun, menjadi sepanjang tahun. Segala kegagalan panen menjadi tanggung jawab dari pekerja, mereka wajib mengganti rugi dan membayar pajak, para pekerja juga tidak mendapatkan keuntungan dari hasil panen.
Akibat dari melencengnya penerapan pada tanam paksa tersebut Belanda dan para elite pribumi mendapat keuntungan yang sangat besar. Belanda mampu membiayai negaranya untuk perang dengan Spanyol yang sedang menjajah Belanda. Belanda berhasil meraih kemenangan dengan biaya perang yang tercukupi dan memiliki keuangan negara yang stabil.
Para elite pribumi memanfaatkan kekayaan dari hasil tanam paksa dengan membangun kompleks bupati yang mirip dengan kompleks kerajaan. Di dalam kompleks bupati tersebut terdapat pendopo, rumah ibadah, dan pohon beringin besar yang menjadi gerbang utama (bukti ini bisa dilihat di Kabupaten Serang, Yogyakarta, Cirebon, Kebumen, dan Sukabumi). Para elite pribumi juga memanfaatkan hasil tanam paksa untuk berfoya-foya membeli barang antik dari Cina yang menjadi ornamen untuk memenuhi pendopo.
Bisa dilihat bagaimana golongan masyarakat bawah pada masa itu sangat menderita. Para elite pribumi yang seharusnya memberikan bantuan atas penderitaan masyarakat jelata, justru mereka membuka jalan untuk terciptanya kolonial feodalisme dengan bangsa Eropa. Keserakahan dan eksploitasi untuk kepentingan pribadi dan golongan menyiksa masyarakat jelata, dan hilangnya hak-hak asasi dan material yang seharusnya mereka dapatkan.(*)