Oleh: Pujiah Lestari
Penulis Peneliti program historical memories untuk wilayah Banten
BICARA tentang karakteristik suatu etnik atau suku tertentu di pelosok tanah air, tak ubahnya bicara tentang kemanusiaan secara universal. Apa yang dibahas oleh psikoanalisa Sigmund Freud di Eropa, sangat identik dengan pembahasan tentang hakikat manusia modern di belahan benua manapun di permukaan bumi ini. Tapi jika menelisik kepribadian orang Banten yang cenderung religius, menurut saya lebih mendekati konsep pemikiran Carl Gustav Jung, seorang penggagas psikologi analitis kelahiran Swiss, yang mempopulerkan dua tipologi kepribadian manusia sebagai ekstrovert dan introvert. Oleh karena itu, mari kita melihat dua tipologi manusia Banten dari perspektif pemikiran Jung yang dinilai tetap valid oleh pandangan psikolog manapun di era post-modern ini.
Orang Banten yang cenderung berjiwa ekstrovert dikenal luwes dalam pergaulan, banyak bicara, enerjik dan spontan. Mereka senang berinteraksi dan berkumpul dengan banyak orang, serta berani mengutarakan ide dan gagasannya. Mereka mudah memulai pembicaraan, bahkan cenderung mendominasi percakapan di tempat kerja. Sedangkan mereka yang berjiwa introvert tak menyukai suasana gaduh dan ramai, cenderung penyendiri, bahkan membangun relasi yang sifatnya lebih personal. Dalam percakapan, orang Banten yang introvert akan lebih senang mendengarkan orang lain. Bukan berarti dia seorang pemalu, belum tentu juga seorang yang tak memiliki ide dan gagasan. Karena tipikal semacam ini, setelah dipancing pertanyaan, rupanya tidak sedikit yang berpandangan luas melebihi apa yang kita bayangkan.
Orang Banten yang introvert bukan berarti tidak mau berinteraksi atau menjauh dari pergaulan. Ketika diajak ngeriung atau yasinan biasanya dia bersedia untuk hadir, bincang-bincang dengan banyak orang. Namun selepas dari acara tersebut dia memerlukan waktu untuk menyendiri, mengembalikan energinya yang terkuras setelah bertemu dengan banyak orang. Jadi, pada prinsipnya orang Banten yang berjiwa ekstrovert maupun introvert, keduanya sama-sama menghimpun energi dan menemukan kesenangan dalam cara yang berbeda-beda. Seorang ekstrovert akan merasa optimal bekerja di tengah lingkungan yang ramai, sedangkan introvert memilih menyelesaikan tugas kesehariannya di tempat sunyi yang jauh dari keramaian.
Ada berbagai macam faktor yang memengaruhi kedua karakter ini, tapi para psikolog lebih sepakat pada faktor genetis dan keturunan. Karenanya, terlalu dini jika kita berkesimpulan bahwa seorang yang terlahir sebagai ekstrovert seakan-akan lebih baik ketimbang introvert. Inilah yang membuat keliru banyaknya kebijakan di instansi pemerintah atau perusahaan, yang berupaya membangkitkan seorang introvert agar menjadi ekstrovert. Padahal yang terpenting, bagaimana para pemimpin mempelajari dan memahami karakteristik seorang introvert, mencari tahu kebutuhan mereka, serta mengoptimalkan segenap potensi yang mereka miliki.
Terkait dengan itu, ada sinyalemen pada sebagian masyarakat Banten, bahwa orang yang terlahir dengan nasib tertentu seakan-akan adalah kutukan dari Tuhan. Padahal seorang introvert yang cenderung menyendiri, memiliki potensi-potensi besar yang kadang tak mampu dipahami oleh kedua orang tuanya. Sepintas saya contohkan beberapa tokoh besar yang berjiwa introvert, seperti sutradara film Steven Spielberg, Albert Einstein, JK Rowling penulis novel Harry Potter yang sewaktu muda sering ditolak penerbit karena sifat minder dan pemalunya. Termasuk Pramoedya Ananta Toer, satu-satunya orang Indonesia yang beberapa kali masuk nominasi untuk penghargaan nobel di bidang sastra.
Jika kita bicara yang lebih ekstrim lagi, sepertinya kemajuan berbagai bidang ilmu dan teknologi, tanpa peran para introvert, kita akan sulit menemukan Google oleh si pendiam Larry Page. Di belahan dunia lain ada sang penyendiri Mark Zuckerberg yang menciptakan Facebook. Belum lagi Apple Computer yang diprakarsai Steve Wozniack yang menyenangi tempat-tempat sunyi. Kemudian, siapa yang tidak mengenal sang pendiam Bill Gates sebagai penggagas Microsoft, yang membuat umat manusia menikmati berbagai kemudahan dalam melaksanakan tugas sehari-hari.
Tapi masalahnya, orang Banten yang berjiwa introvert, apakah mungkin bisa menjadi pemimpin atau kepala daerah? Ternyata, bila kita menelisik jejak-langkah biografi para pemimpin dunia, tidak jarang kita temukan pemimpin besar yang berjiwa sangat introvert, misalnya Mahatma Gandhi, Roosevelt, Hillary Clinton, Guy Kawasaki hingga Warren Buffet. Sebagai introvert, mereka telah mampu membuktikan pada dunia bahwa kepribadian tersebut tidaklah menjadi penghalang untuk berkiprah sebagai pemimpin dunia.
Oleh karena itu, hendaknya dikesampingkan pesimisme orang Banten yang selama ini memandang apatis seolah-olah kepemimpinan hanyalah milik orang-orang ekstrovert. Bahkan seorang pejabat atau pemimpin perusahaan yang berjiwa ekstrovert, terkadang mudah menyepelekan ide-ide kreatif anak buahnya, hingga mengerdilkan semangat mereka. Atasan ekstrovert lebih sesuai mengelola tim kerja yang membutuhkan banyak arahan, karena ia dituntut untuk membangkitkan semangat, merumuskan visi, dan membuka jaringan sosial. Tapi bila suatu instansi didominasi orang-orang ekstrovert, akan mudah tersulut konflik karena masing-masing akan mengedepankan ego mereka. Sebaliknya, jika suatu tim kerja didominasi para introvert, maka dinamika kelompok kurang berjalan secara kreatif. Karena itu, suatu instansi yang efektif dan ideal mesti terbentuk dari kombinasi yang proporsional antara kedua kekuatan tersebut.
Namun di balik semua itu, akan lebih optimal menelisik karakteristik orang Banten jika kita mengadakan perbandingan dengan hasil penelusuran antropologi budaya maupun sastra, misalnya novel Perasaan Orang Banten (POB). Hal ini menjadi tantangan untuk bisa membedakan tokoh-tokoh yang berjiwa ekstrovert dan introvert, baik melalui tokoh Pak Salim si pemilik warung, Bi Marfuah si pejaja gosip, Pak Majid tukang cukur yang dulu malang melintang di dunia ormas dan politik, Bang Jali pengusaha kampung yang pernah tergiur politik, Poppy artis kampung yang terjerat narkoba, hingga tokoh pendiam dan penyendiri seperti Taufik dan Tohir sang penyair dan penjaga masjid.
Masing-masing karakter memiliki preferensi yang berbeda-beda, sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Para ekstrovert cenderung menangani pekerjaan mereka secara lebih cepat dan mampu mengambil keputusan dalam waktu singkat, namun adakalanya bersikap temperamen dan gegabah. Mereka senang mengambil risiko dan menyukai pekerjaan yang bersifat multitasking. Kebalikannya, orang Banten yang introvert lebih membutuhkan waktu dalam menyelesaikan tugas, dan cenderung berhati-hati. Mereka lebih menyukai fokus pada satu pekerjaan dalam satu waktu. Mereka juga lebih membutuhkan privasi dalam menyelesaikan pekerjaan dibanding seorang ekstrovert.
Pada prinsipnya, seorang yang berjiwa ekstrovert maupun introvert sama-sama memiliki peluang untuk menjadi manusia unggul Banten, bahkan sangat mungkin menjadi pemimpin. Dengan memahami perspektif ini, kita akan lebih mengetahui karakter mereka dan menemukan cara yang tepat untuk mengoptimalkan potensi mereka, tanpa perlu memandang mereka sebagai “orang lain”. Jika dikelola dan dimenej dengan baik, tidak menutup kemungkinan orang Banten yang berjiwa introvert, dapat menjelma sebagai filosof dan pemikir besar yang dapat menentukan arah perubahan bagi kemajuan peradaban Banten.Subhanallah. (*)