IBC, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango mengingatkan kepada calon kepala daerah (cakada) cermat atas kepentingan ekonomi donatur yang mensponsori mereka dalam Pilkada Serentak 2020. Hal itu dikarenakan biasanya donatur yang kebanyakan berupa pengusaha itu memiliki konsekuensi pamrih.
"Hasil survei KPK pada tahun 2018 menunjukkan sebanyak 82,3 persen dari calon kepala daerah yang diwawancarai menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada. Bahkan, pembiayaan pilkada oleh sponsor tidak hanya terbatas pada masa kampanye," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango dalam pembekalan cakada Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) di Kantor Gubernur Sulut, Kota Manado, Kamis. Sedangkan, peserta di NTB mengikuti pembekalan secara daring yang dilansir dari Antaranews.com, Kamis (5/11/2020).
Nawawi mengungkapkan sumbangan donatur yang kebanyakan adalah pengusaha mempunyai konsekuensi pamrih untuk mendapatkan kemudahan perizinan dalam menjalankan bisnis, keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnisnya.
KPK mencatat sebagaimana Laporan Harta Kekayaan (LHK) cakada yang disampaikan kepada KPK, rata-rata total harta pasangan calon mencapai Rp18,03 miliar. Bahkan, ada satu pasangan calon yang memiliki harta minus Rp15,17 juta.
Sementara survei KPK pada 2018, memperlihatkan kebutuhan dana untuk ikut pilkada di tingkat kabupaten atau kota adalah Rp5-10 miliar. Sedangkan untuk menang harus menyediakan uang sekitar Rp65 miliar.
"Survei KPK pada 2018 itu bertanya kepada cakada, apakah orang yang menyumbang atau donatur ini mengharapkan balasan di kemudian hari saat para cakada menjabat? Jawabannya, sebagian besar cakada atau 83,80 persen dari 198 responden menyatakan akan memenuhi harapan tersebut ketika dia menjabat," ucap Nawawi
Ia menjelaskan kebutuhan dana proses pilkada mencakup beberapa hal, yakni uang mahar kepada parpol pendukung, advertensi (iklan di media, alat peraga di tempat umum, umbul-umbul, kaus, dan baliho), sosialisasi kepada konstituen (transportasi, rapat kader, tatap muka dengan calon pemilih, pertemuan terbatas, dan rapat umum).
Kemudian, honor saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS), gratifikasi kepada masyarakat pemilih dalam bentuk barang, uang, janji atau beli suara (sumbangan natura dan serangan fajar) serta biaya penyelesaian hukum konflik kemenangan pilkada (tentatif).
Sebelumnya saat membuka kegiatan, Penjabat sementara (Pjs) Gubernur Provinsi Sulut Agus Fatoni menyebutkan pentingnya proses pilkada yang baik dan berintegritas sehingga pada akhirnya akan memunculkan kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas.
"Proses pilkada penting. Dari proses politik pemilihan kepala daerah yang baik dan berintegritas akan menghasilkan kepala daerah yang baik dan berintegritas juga. Proses pilkada yang berintegritas inilah tanggung jawab kita semua, pemerintah, KPU, Bawaslu, KPK, dan partai politik," kata Agus.
Sedangkan Pelaksana harian (Plh) Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Ilham Saputra meminta seluruh cakada dan pemilih bersama-sama mewujudkan pilkada berintegritas.
KPU juga mendorong peserta pilkada menandatangani pakta integritas. Selain itu, kata dia, KPU telah pula mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam) di mana salah satu tujuannya adalah mendorong keterbukaan informasi keluar masuk dana kampanye peserta pilkada. (Antara/IBC)***