“Saya sedang berada di Kerman,” jawab putra si wanita tua. “Guruku menyuruhku membeli daging. Aku mendapatkan dagingnya dan baru saja hendak kembali kepadanya, saat itulah angin besar menahanku. Aku mendengar suara berkata, “Angin, bawalah dia pulang ke rumahnya, dengan berkah dari doa Habib dan dua dirham yang diberikan untuk sedekah.”
Suatu hari, seorang wanita tua datang menemui wali sufi Habib Al-Ajami. Wanita tua itu menjatuhkan diri ke kakinya, lalu sedih sambil menangis.
“Aku memiliki seorang putra yang sudah lama tidak kutemui. Aku tidak tahan lagi terpisah darinya. Sampaikanlah doa kepada Allah,”kata dia memohon. “Mungkin dengan berkah doamu, Allah akan mengirimnya kembali kepadaku.”
“Apakah kamu memiliki uang?” tanya Habib dia.
“Ya, dua dirham,” jawabnya wanita tua.
“Bawalah uang itu, dan berikan kepada orang miskin.”
Habib pun mengucapkan doa, lalu dia berkata kepada wanita tua itu, “Pergilah. Putramu telah kembali kepadamu.”
Wanita tua itu pulang. Belum juga sampai ke depan pintu rumahnya, dia telah melihat putra.
“Bagaimana bisa, ini dia putraku!” teriaknya, dan dia membawa anaknya itu bersama-sama menemui Habib.
“Apa yang terjadi?” tanya Habib kepada putra wanita tua itu.
“Saya sedang berada di Kerman,” jawab putra si wanita tua. “Guruku menyuruhku membeli daging. Aku mendapatkan dagingnya dan baru saja hendak kembali kepadanya, saat itulah angin besar menahanku. Aku mendengar suara berkata, “Angin, bawalah dia pulang ke rumahnya, dengan berkah dari doa Habib dan dua dirham yang diberikan untuk sedekah.”
**
Pada suatu saat di 8 Zulhijjah Habib Al-Ajami terlihat di Bashrah (Irak). Pada tanggal 9 Zulhijjah, saat wukuf, Habib sudah terlihat berada di Arafah (Mekkah).
**
Suatu saat terjadi kelaparan di Bashrah. Habib membeli banyak bahan makanan secara rutin dan membagikannya hanya-cuma sebagai sedekah. Dia mengikat dompetnya dan meletakkannya di bawah bantalnya. Ketika pedagang itu datang untuk meminta pembayaran, dia akan mengambil dompetnya, dan dompet itu penuh dengan dirham, yang jumlahnya sebanyak utangnya.
**
Habib Al-Ajami memiliki sebuah rumah di Basrah, di sebuah persimpangan jalan. Dia juga memiliki mantel bulu yang dia kenakan baik pada musim panas maupun musim dingin. Suatu kali, karena merasa perlu mandi, dia bangkit dan meninggalkan perapiannya di tanah. Hasan al-Basri, yang muncul di tempat kejadian, mengira perapian itu terletak begitu saja di jalan.
“Orang 'Barbar' ini tidak tahu nilainya,” komentarnya. “Mantel bulu ini seharusnya tidak ditinggalkan di sini. Ia bisa saja hilang.”
Jadi dia berdiri di sana mengawasinya. Tidak lama kemudian Habib kembali.
“Wahai Imam umat Muslim,”seru Habib memberi hormat kepada Hasan, “Mengapa kamu berdiri di situ?”
“Apakah kamu tidak tahu,” jawab Hasan, “Mantel ini tidak boleh ditinggalkan begitu saja di sini? Mungkin saja ia bisa hilang. Katakanlah, dititipkan kepada siapa ketika kamu meninggalkannya?”
“Kepada Allah,” jawab Habib, “Dan Dia menunjukmu untuk mengawasinya.”
**
Suatu hari wali sufi Hasan Al-Bashri datang bertamu ke rumah wali sufi Habib Al-Ajami. Tuan rumah menyodorkan dua potong roti gandum dan sedikit garam di hadapan Hasan. Hasan siap makan dimulai. Seorang pengemis datang ke pintu, dan Habib mengambil kedua potong roti dan garam itu dan memberikannya kepadanya.
“Habib,” kata Hasan keheranan, “Engkau orang baik. Jika saja Anda memiliki pengetahuan, itu akan lebih baik lagi. Engkau mengambil roti dari bawah hidung tamumu dan memberikan semuanya kepada pengemis. Engkau seharusnya memberikan sebagian kepada pengemis dan sebagian untuk tamu.”
Habib tidak mengatakan apa pun. Tidak lama kemudian seorang budak masuk dengan membawa nampan di kepalanya. Domba panggang berada di atas nampan, bersama dengan manisan, roti halus, dan lima ratus dirham perak. Dia mengatur nampannya di hadapan Habib. Habib memberikan uangnya kepada orang miskin, dan meletakkan nampannya di hadapan Hasan.
“Guru,” katanya ketika Hasan sudah memakan beberapa daging panggang. “Engkau orang baik. Jika saja Anda memiliki sedikit keyakinan, itu akan lebih baik lagi. Pengetahuan harus disertai dengan keyakinan.” [dari Tadzkiratul Auliya, Fariduddin Attar]
Sumber: lnilahcom