Oleh: Muahor Zakaria
Penulis Alumni Ponpes Al-Bayan, Rangkasbitung, Lebak
“Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, karena Dia memiliki nama-nama yang terbaik.” (al-Isra: 110)
Dalam kepercayaan mayoritas Hindu Bali, sosok Wisnu disimbolisasi sebagai Sang Pengasih, Pelindung dan Pemberi rezeki. Dalam Islam dikenal sebagai ar-Rahman, al-Hafidz, dan ar-Razzaqu. Sedangkan sosok Brahma disimbolisasi sebagai Sang Pencipta (al-Khaliq). Kita bersyukur, nama-nama terbaik Tuhan (asma’ul husna) itu pernah terpampang jelas di sepanjang jalan protokol Serang, dalam bentuk kaligrafi Arab. Meskipun pihak pemerintah daerah perlu berpikir untuk proses perawatannya, dan tidak hanya berpikir untuk membangunnya saja.
Dalam kepercayaan Hindu disebutkan sekitar 33 nama Tuhan (Rigveda Book 2 Hymn 1), meskipun para tokoh spiritual mereka menyebutkan bahwa Tuhan itu adalah Brahma yang satu. Di samping itu, nama Tuhan yang seringkali mereka sebutkan adalah Wisnu, yang mengandung arti “Rabb” dalam agama Islam. Yang menjadi perbedaan prinsipil, di dalam Islam Tuhan tak boleh disimbolisasi dengan wajah atau rupa (walam yakullahu kufuwan ahad). Tetapi dalam Hindu sosok Brahma diidentikkan dengan wajah manusia yang memiliki empat mahkota. Sedangkan Wisnu disimbolisasi dengan wajah manusia yang memiliki empat tangan.
Dalam Islam tidak dibenarkan adanya simbolisasi seperti itu, meskipun penyebutan Tuhan sebagai “Rabb” yang mereka artikan sebagai Wisnu, Cherister atau Sustainer, bukan menjadi soal prinsipil dalam ajaran Islam.
Wisnu dalam kepercayaan Hindu digambarkan dengan sosok yang memiliki empat tangan yang memegang cakra. Pada tangan kanan terdapat gada (rumah kerang) menaiki burung garuda sambil bersandar pada ular yang melingkar. Simbolisasi seperti itu lazimnya terdapat pada logo suatu lembaga atau organisasi, tetapi bila menyangkut wajah Tuhan tidak bisa dibenarkan dalam ajaran Islam.
Perbedaan mendasar jika kita membahas secara ilmiah mengenai konsep Tuhan terdapat pada konsep“wahdatul wujud” (kesatuan yang imanen), di mana segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan dan milik Tuhan Yang Esa. Sementara pada konsep Hinduisme lebih mendekati konsep Jabariyah, di mana segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah Tuhan itu sendiri.
Simbol patung sebagai mediasi umat Hindu dalam bersembahyang – bagi kaum terpelajar Hindu – tidak berkonotasi sebagai sesembahan atau berhala, melainkan hanya sarana dan mediasi belaka. Di dalam Islam mediasi tersebut tak bisa disimbolisasi dengan benda apapun, kecuali simbolisasi kiblat yang berbentuk bangunan kubus persegi empat yang dinamakan sebagai Ka’bah di pusat Kota Makkah al-Mukarromah.
Dalam kitab ajaran Hindu (Bhagawad Gita), patung hanya boleh digunakan untuk pemusatan pikiran dan konsentrasi, tetapi tidak boleh untuk pemujaan atau penyembahan. Sedangkan dalam ajaran Islam, simbol-simbol gambar ditiadakan. Puncaknya dalam sejarah, ketika Rasul bersama para sahabat merobohkan berbagai bentuk patung yang berada di sekitar Ka’bah pada peristiwa “Fathu Makkah”. Bahkan wajah Rasulullah sendiri hanya dipersonifikasi dengan huruf “Muhammad”, tak boleh disimbolisasi dalam bentuk gambar foto maupun lukisan wajah beliau.
Seperti halnya ajaran Kristiani yang mengalami banyak pembaharuan sejak kemunculan Protestan, sosok pembaharu dalam ajaran Hindu banyak digagas oleh Raja Ramohan Roy dan Justice MG Ranade. Raja Ramohan Roy berasal dari Benggala dan lahir pada tahun 1772 M. Ia menghapus sistem kelas dan kasta, menolak simbolisasi patung dalam peribadatan Hindu, tetapi harus fokus memuja Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kepercayaan “Brahma Samaj” yang digagasnya, sejak tahun 1830-an Ramohan menentang konsep reinkarnasi, serta mencopot segala bentuk gambar foto maupun patung di ruang peribadatan Hindu.
Sedangkan tokoh pembaharu Hindu lainnya, Ranade berhasil mendirikan partai Partha Samaj, juga menolak sistem kasta, serta menganjurkan para janda – yang semula dilarang menikah – bahwa mereka berhak mendapatkan pasangan baru dan menikah lagi. Dalam konsep pembaharuan Ranade, wanita Hindu ditekankan sejajar dengan kaum laki-laki dalam perolehan hak untuk berpendidikan dan berpengetahuan secara layak.
Simbolisasi tangan empat pada sosok Brahma sebagai Sang Pencipta dan Pemberi rizki, yang dikonotasikan bahwa rizki itu bersumber dari barat, timur, utara dan selatan, telah ditiadakan oleh Ranade. Baginya, Brahma menggenggam semua rizki yang diberikan kepada makhluknya, tidak memandang kelas dan kasta, juga bersumber dari semua arah, tidak dibatasi oleh arah mata angin tertentu. Keparcayaan Hindu di daerah Baduy, Lebak, yang melarang pendirian rumah menghadap ke arah tertentu, juga kebenaran fatwa yang hanya bersumber dari petuah Pu’un, telah ditiadakan oleh para pembaharu Hindu di India sejak abad pertengahan masehi.
Pada prinsipnya kepercayaan Hindu kontemporer, meniscayakan para penganutnya berpijak pada monotheisme (keesaan Tuhan) sebagai pegangan utama dalam peribadatan mereka. Orang Banten mengenal istilah “papat kalima pancer” bagi orang yang mau membuka mata hati, yang merupakan ajaran klasik dari simbol-simbol Hinduisme. Sang pemberi rizki, yang dikenal dengan “Wisnu” – menurut Ranade – tak perlu disimbolisasi dengan empat tangan yang sifatnya kasatmata. Meskipun di dalam Alquran dikatakan bahwa Allah duduk di atas singgasana (arsy), namun tak perlu digambarkan dalam simbol-simbol tertentu. Misalnya sosok seorang raja yang bermahkota, menaiki garuda yang disimbolisasi kuda yang perkasa dan melaju secepat kilat (buraq).
Pada akhirnya, setiap pembaharuan dalam agama dan kepercayaan apapun – baik Kristen, Hindu, Kong Hu Cu – semuanya akan mengkristal pada keesaan Tuhan (monotheisme) yang dalam terminologi Alquran hanya dapat disimbolisasi dengan kata dan ucapan: Dialah Allah Yang Esa, tempat bergantung, tidak beranak dan diperanakkan, dan tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya. (*)