Ketika Indonesia masih di bawah kekuasaan Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto, seorang tentara muda dari Banten mendaftar sebagai tentara sukarela untuk ikut-serta memerangi para gerilyawan di Timor Timur. Ia dicatat dengan nama lengkap Imam Mahdini, dan para tentara senior sangat memuji keberaniannya.
Ia diberangkatkan bersama para tentara lainnya, menuju tempat di mana senjata-senjata dibagikan secara massal. Sambil menimang-nimang senapan miliknya, ia pun berkata dengan rasa jengkel, “Sekarang saya mau berangkat dan harus berhasil menembak si kafir Abilio!”
Tentara lainnya mengerutkan kening sambil bertanya-tanya, siapakah Abilio yang dia maksud.
“Tentu saja dia musuh,” katanya lagi, “musuh saya.”
Seorang tentara berpangkat letkol menjelaskan bahwa yang akan kita tembak adalah para pemberontak yang menjadi musuh bersama. Bukan musuh dia pribadi.
“Emangnya saya orang tolol?” katanya ketus, “tentu saja si Abilio itu musuh kita bersama. Dia salah satu di antara para pemberontak yang akan kita perangi. Waktu saya mendengar kabar bahwa kalian akan menumpaskan pasukan mereka, saya berpikir bahwa saya juga harus terjun ke lapangan untuk menghabisi si kafir Abilio. Nah, itulah sebabnya saya berada di tengah kalian, dan cepat-cepat mendaftar sebagai tentara sukarelawan.”
Ia menghela nafasnya, tatapannya menerawang, dan lanjutnya, “Orang itu telah mempermalukan saya di depan perempuan, dan dia juga pernah menipu saya. Tapi sudahlah, itu masa lalu. Nanti akan saya ceritakan setelah saya menembak dia.”
Tentara-tentara lainnya manggut-manggut seakan mempercayai omongannya itu.
“Oke, kalau begitu, Pak Kapten,” Mahdini menghadap kepala pasukan yang
memimpinnya. “Tunjukkan saja di mana posisi Abilio berada, dan saya akan habisi dia.”
Kapten itu menjawab bahwa ia tidak tahu posisinya.
“Ya sudah kalau begitu, Nanti akan saya cari di mana si kafir Abilio itu. Cepat atau lambat saya toh akan menemukan juga.”
Kapten itu menegaskan bahwa Mahdini tidak boleh berangkat semaunya. Ia harus konsisten menuruti garis komando yang sudah ditetapkan. Ia juga hanya boleh menembak pihak yang ditentukan sebagai musuh, dan para tentara lainnya tak berurusan dengan orang yang bernama Abilio.
“Nah, kalau begitu,” ujar Mahdini, “saya akan ceritakan siapa sebenarnya si kafir Abilio itu. Dia itu penjahat kelas kakap, dan dia juga pernah mengaku sebagai komunis. Karena kalian berada dalam posisi memusuhi dia, maka kalian sudah berada di jalur yang tepat. Karena itu, saya pun turut mengangkat senjata untuk memerangi dia. Allahu akbar!”
Tak ada yang menyahut. Apapun yang diceritakan Mahdini tetap tak ada hubungannya dengan upaya mereka untuk menumpas para pemberontak.
Mahdini berusaha meyakinkan mereka sambil mengangkat senapannya, “Maaf kawan-kawan, bagi kalian mungkin tak ada hubungannya dengan orang yang nanti akan saya tembak. Tapi saya akan sangat menyesal bila membunuh orang yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Abilio.”
Sang kapten segera menghardiknya. Ia memberi teguran keras pada niat dan maksud kedatangannya di Timor Timur. Ia juga menjelaskan tentang kepentingan nasional dan tugas kemiliteran , serta tak diperbolehkan membunuh orang tertentu sekehendak hatinya.
“Ya sudah kalau begitu, saya mau keluar saja,” ia bangkit dari duduknya seraya memanggul senapannya.
“Hey, apa-apaan kamu!” teriak kawan-kawannya. “Kenapa tiba-tiba memutuskan keluar? Sementara kamu sudah menandatangani surat pendaftaran dan mengisi dokumen lainnya. Bagaimanapun kamu sudah menjadi bagian dari pasukan kami, Mahdini!”
***
Dengan amarah dan penuh kedengkian, Mahdini tampil di medan perang, menembaki orang-orang yang dianggapnya musuh, sambil berharap di antara mayat-mayat itu ada yang bernama Abilio atau salah satu dari keluarganya.
Hanya selang beberapa minggu, Jenderal Orde Baru menganugerahinya medali karena keberaniannya tampil di medan perang. Tetapi, Mahdini tetap saja belum puas, karena di antara korban-korban itu belum ada kepastian salah satu dari mereka yang bernama Abilio.
Di tengah rasa gundahnya Mahdini berujar, “Kalau saya gagal dan tidak menemukan si kafir Abilio, berarti korban-korban yang saya tembaki itu telah mati sia-sia.”
Lama kelamaan, ia merasa sedih, kecewa dan amat menyesal. Di sisi lain, ia terus saja menerima medali dari pemerintah Orde Baru, berupa emas, perak, perunggu dan lain-lain.
Mahdini tetap terjun ke medan pertempuran, menembaki para pemberontak sehari, dua hari, tiga hari dan seterusnya. Dan ia merasa yakin bahwa pada waktunya nanti, cepat atau lambat, akan sampai juga pada giliran Abilio dan keluarganya.
***
Pada akhirnya, negara-negara yang yang tergabung dalam PBB menyimpulkan bahwa aneksasi terhadap wilayah Timor Timur tak lain merupakan bentuk penjajahan terselubung. Sastrawan dalam negeri, Pramoedya Ananta Toer secara tendensius menegaskan bahwa perilaku tentara-tentara Orde Baru di bawah rezim Soeharto adalah penjajah-penjajah kesiangan. Sebab, bapak bangsa Soekarno pernah memperingatkan bahwa wilayah teritorial Indonesia tidak akan memasukkan suatu pulau atau wilayah yang secara administratif bukan bekas Hindia Belanda.
Maka terjadilah referendum di masa kepemimpinan Presiden Habibie, lalu Timor Timur memproklamasikan kemerdekaannya setelah 24 tahun dalam pendudukan militerisme Orde Baru. Seketika Mahdini merasa terpukul. Ia menuduh Presiden Habibie sebagai kepala negara yang telah sewenang-wenang menjual wilayah Timor Timur kepada negeri-negeri asing.
Karena ia tidak berhasil menemukan Abilio hingga terjadinya masa referendum, Mahdini merasa bersalah karena telah menghabisi nyawa banyak orang dengan sia-sia belaka.
Dan setelah memasuki masa damai di tahun 2001 Mahdini merasa kecewa dengan kemunculan buku 100 Tahun Bung Karno (Liber Amicorum) yang ditulis oleh para pengagum pemikiran Soekarno di seluruh dunia, di antaranya Ben Anderson, Peter Dale Scott, Pramoedya, Hafis Azhari, Noam Chomsky dan lain-lain.
Mahdini akhirnya menyedekahkan medali-medali yang pernah ia terima ke seluruh pelosok Timor Leste (nama negara baru yang mereka sepakati setelah menjadi provinsi Timor Timur). Ia menemui para janda dan anak-anak yatim yang telah ditinggal mati bapaknya atau suaminya selama masa perang gerilya.
Dalam perjalanannya mengarungi daerah-daerah yang kini telah berada dalam kekuasaan musuh, Mahdini tak sengaja bertemu dengan Abilio, orang yang dituduhnya sebagai kafir selama ini.
“Nah, ini dia orangnya,” katanya. “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.”
Ia pun membunuh Abilio dengan sebilah pisau tajam dalam beberapa kali tusukan.
Seketika itu, ia ditangkap dan diseret ke pengadilan. Di tengah persidangan, Imam Mahdini membela diri dengan membikin pernyataan bahwa selama ini mencari-cari Abilio untuk meluruskan jalan hidupnya agar ia mendapat petunjuk dan hidayah. Tetapi, tidak seorang pun yang bisa mempercayai apa-apa yang dikatakannya. ***
Penulis Esais dan kritikus sastra, dosen di perguruan tinggi La Tansa, Banten Selatan