Di masyarakat Indonesia, terutama di daerah Jawa, sering kita jumpai istri yang dipanggil dengan nama suami mereka. Misalnya, “Ibu Budi” atau “Ibu Sulistyo.” Meskipun nama aslinya mungkin berbeda, penambahan nama suami di belakang nama istri telah menjadi kebiasaan yang umum untuk menunjukkan bahwa seorang wanita sudah menikah.
Namun, bagaimana Islam memandang hal ini? Apakah menambahkan nama suami di belakang nama istri diperbolehkan atau justru menyalahi aturan syariah ?
Dasar Hukum Nisbat dalam Islam
Dalam Islam, nisbat atau penambahan nama dilakukan dengan menisbatkan seseorang kepada ayah kandungnya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 4-5:
“Panggilah mereka (anak-anak angkat) dengan memakai nama bapak-bapak mereka. Itulah yang adil di sisi Allah,” (QS. Al-Ahzab: 5)
Ayat ini diturunkan dalam konteks kasus Zaid bin Haritsah yang diangkat menjadi anak oleh Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya, Zaid dikenal sebagai “Zaid bin Muhammad” yang menunjukkan nisbat kepada Nabi Muhammad SAW sebagai ayah angkatnya. Namun, Allah kemudian menegaskan bahwa seseorang harus dinisbatkan kepada ayah kandungnya, bukan kepada yang lainnya.
Hadis Nabi juga memperkuat aturan ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Sa'd bahwa Nabi SAW bersabda:
“Barang siapa yang menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, padahal ia tahu bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka surga diharamkan baginya.”_ (HR. Bukhari)
Apakah Menambahkan Nama Suami Termasuk Nisbat?
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, menisbatkan diri selain ayah kandung adalah tindakan yang terlarang dalam Islam. Namun, apakah menambahkan nama suami di belakang nama istri termasuk dalam kategori yang sama?
Secara syariat, nisbat adalah bentuk legalitas hubungan kekeluargaan yang diakui karena adanya hubungan darah atau keturunan. Penggunaan nama suami oleh istri lebih sering terjadi karena adat dan bukan karena maksud untuk menisbatkan hubungan darah atau kekeluargaan.
Sehingga, jika penambahan nama suami di belakang nama istri dilakukan hanya sebagai kebiasaan atau adat istiadat dan tidak dimaksudkan untuk mengubah identitas keturunan, maka praktik ini tidak masuk dalam kategori nisbat.
Kesimpulan Hukum: Adat atau Pelanggaran?
Dalam konteks Islam, jika seorang istri menambahkan nama suaminya hanya karena kebiasaan atau tradisi, maka hal itu tidak termasuk dalam nisbat yang dilarang menurut dalil-dalil di atas. Sebab, praktik ini tidak bertujuan untuk mengubah silsilah atau nasab keturunan. Namun, jika tujuannya adalah menisbatkan atau menyatakan hubungan keturunan yang tidak sah secara syariat, maka hukumnya adalah haram.
Dengan demikian, selama penambahan nama suami ini sekadar untuk menghormati atau mengikuti adat tanpa maksud mengubah nasab, maka hal itu diperbolehkan dalam Islam. Akan tetapi, bagi Muslim yang ingin lebih berhati-hati, kembali kepada nama asli sesuai nasab ayah adalah pilihan terbaik.
Wallahu A'lam.
[lnilahcom]