Kamis, 20 Maret 2025

Bukan Pikiran yang Gelap

[foto ilustrasi]
Minggu, 05 Agt 2018 | 20:51 WIB - Suara Pembaca

Oleh: Alawi Al-Bantani

Penulis Pegiat dan peneliti historical memory untuk wilayah Banten dan Jawa Barat

Era Milenial adalah suatu era yang sudah kita hadapi dan rasakan. Ia bukanlah suatu zaman impian dan khayalan manusia, tetapi suatu keniscayaan sejarah yang tengah kita hadapi bersama-sama. Anda boleh menilai bahwa inilah era kebejatan akhlak dan moral manusia, tapi saya pun berhak membalik logika Anda bahwa inilah era perubahan dan revolusi akhlak dan etika manusia menuju peradaban yang lebih luhur dan mulia.

Inilah era ketika segalanya mudah tersingkap. Bagi Anda yang banyak menyimpan rahasia-rahasia terselubung yang di luar kasatmata, bersiap-siapalah rahasia Anda akan terbongkar habis. Dan Anda berhak untuk tersenyum, tertawa, maupun sedih dan menangis sesenggukan. Inilah era keniscayaan yang tak bisa ditolak dan ditentang. Anda boleh mengatakan bahwa di zaman ini dajjal-dajjal bergentayangan di mana-mana, tapi saya pun berhak mengatakan bahwa di era inilah para malaikat menaungi manusia-manusia bijak dan luhur yang menyuarakan nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan keindahan global.

Anda bersuara lantang bahwa kerusakan akhlak dan moral diakibatkan maraknya teknologi gawai dan ponsel yang tak terbendung lagi. Tapi saya berani menyatakan bahwa anugerah teknologi ini justru memancarkan energi kebaikan yang luar biasa di tangan orang-orang yang memiliki kesalehan individu, serta bertanggungjawab untuk menjaga kesalehan keluarga, hingga pada gilirannya akan memancarkan kesalehan sosial dengan baik.

Mengapa Anda bersikeras menyalahkan zaman dan pesatnya teknologi sebagai biang keladi, sementara Anda sendiri tidak punya nyali untuk membangun gerakan politik yang menyuarakan mogok gawai dan ponsel? Itu berarti Anda tidak konsisten dengan pikiran Anda sendiri. Mengapa Anda melarang anak menggunakan gawai, serta khawatir mereka kecanduan, sementara Anda sendiri tak mau memberi teladan yang baik agar tidak bergantung pada perangkat teknologi itu? Mungkinkah Anda berhasil melarang anak remaja dari kecanduan merokok, di saat Anda sendiri menghabiskan banyak anggaran keluarga untuk mengonsumsi rokok?

Teladan yang baik – di tingkat keluarga maupun pemimpin bangsa – bukanlah tipikal orang yang mengatakan ‘ya’ di mulutnya tetapi mengatakan ‘tidak’ dalam hati nuraninya. Seorang anak-didik akan mudah mengadopsi karakter dan cerminan watak dan perilaku orang tuanya jika ia konsisten melangkah di jalan yang benar. Tapi sebaliknya, jika perilaku tidak benar dipertontonkan di depan mata, sementara di mulutnya bicara moral dan etika, hal itu tidak mencerminkan akhlak dan moral yang patut diteladani.

Anda boleh saja berkoar-koar di mulut agar di tahun 2019 nanti presiden harus diganti. Tapi siapa yang menjamin karakter Anda akan berubah jika presidennya ganti. Siapa yang mengubah Anda menjadi produktif ketimbang konsumtif. Siapa yang akan melunasi utang Anda, jika hidup Anda disibukkan dengan menunggak berbagai kredit dan utang sana-sini? Dan siapa yang menjamin rumah-tangga Anda menjadisakinah, mawadah, warahmah, kecuali jika Anda sendiri yang mau mengubahnya dari sekarang juga!

Aspek positif yang perlu dicermati dari era milenial ini, kita yang berprofesi di bidang apapun, bisa belajar apa saja darinya, dan di mana saja. Tanpa ada sekat dan tembok yang membatasi diri kita. Betapapun benci dan antipati Anda terhadap era yang menakjubkan ini, ia akan terus mengalir bagaikan derasnya air jernih yang mencari celah-celah untuk turun dari puncak perbukitan, hingga dapat kita kelola untuk kebutuhan hidup yang sangat bermanfaat. Ataukah ia akan dibendung secara paksa hingga menimbulkan longsor dan banjir bandang yang merusak tatanan kehidupan kita?

Bila saya analogikan dengan permainan game bagi anak-anak masakini, mengapa pamor orang tua bisa dikalahkan olehnya, hingga sang anak cenderung apatis terhadap orang tuanya, ketimbang apresiasi yang menakjubkan dari permainan game terhadap kecerdasan dan imajinasi mereka? Mengapa para orang tua kurang apresiatif terhadap anak-anaknya sendiri?

Melalui tulisan ini, saya tak merasa perlu untuk mengkritik anak-anak Banten. Mereka anak-anak lucu yang tidak punya salah apa-apa. Lagipula mereka juga bukan pembaca utama dari tulisan di media dan harian ini. Apa kepentingan saya untuk menyalahkan anak-anak yang mungil dan menggemaskan, yang sejak dari kandungan kemudian lahir dan menjadi balita, telah banyak berjasa untuk menghibur kita, membantu kita tertawa, tersenyum dan banyak bersyukur kepada anugerah Allah Swt.

Saya kadang tak habis pikir, mengapa kebanyakan logika masyarakat terbulak-balik. Anak-anak tak berdosa disalah-salahkan. Termasuk oleh penulis wacana dan opini di harian umum maupun medsos yang kebanyakan menjabat sebagai pemimpin rumah-tangga (orang tua), dan getol menyalahkan anak sebagai korban zaman. Apa yang salah dengan zaman yang terus berubah dan berkembang sesuai sunatullah? Dulu tak ada listrik, sekarang seluruh dunia sudah terang benderang. Dulu orang membaca Alquran maupun Alkitab di lingkungan terbatas melalui tulisan tangan, tetapi setelah ditemukan mesin cetak pada 1440 (Guttenberg), kitab suci itu menyebar ke seluruh dunia dan berada di sudut-sudut rumah-tangga kita. Apa yang salah dengan zaman?

Sejak zaman dulu sampai hari ini, tabiat dan watak anak-anak sama saja. Mereka sudah membuat kita gembira dan bahagia sejak dari kandungan hingga lahir. Kita senang melihat perangai dan tingkah laku mereka, kita senang memeluk dan menciumi mereka. Kita bahagia saat mereka tertawa, menangis, belajar bicara dan melangkahkan kaki. Di setiap gerak-gerik mereka, anak-anak telah banyak berbakti dan berjasa kepada kita sejak mereka berada di permukaan bumi ini.

Terkait dengan ini, saya ingin menegaskan kepada pembaca yang budiman dan baik hati, melalui tulisan ini saya ingin mengemukakan ketidaksepakatan saya pada dongeng-dongeng mistik yang terlalu didramatisir, seperti kisah Malin Kundang yang konon dikutuk orang tuanya benjadi batu. Saya tidak ingin seperti orang tua Malin Kundang yang temperamental, gemar mengutuk-ngutuk orang, terlebih anak kandungnya sendiri. Untuk apa? Bukankah kewajiban kita mendoakan anak-anak agar berada di jalan yang benar? Kalaupun seorang anak kurang apresiatif dan tidak hormat pada orang tuanya, justru pihak orang tua yang harus berkaca diri, muhasabah dan introspeksi diri. Emangnya siapa diri kita ini?

Kalaupun seorang anak kurang respek pada orang tuanya, kita kembali saja kepada kualitas syukur dan jati diri kita, apakah selama ini kita tergolong orang tua yang kredibel di mata anak-anak? Ataukah kualitas keislaman kita masih diselubungi takhayul dan khurafat yang secara diam-diam dipelihara, padahal perilaku “syirik” menunjukkan identitas dusta dan kebohongan kita sebagai manusia beragama?

Mulai saat ini, berhentilah menyalah-nyalahkan zaman, berhentilah menyalah-nyalahkan anak-anak. Tunjukkan kualitas kejujuran dan keikhlasan kita dalam mengasuh dan mendidik mereka, karena hal tersebut menunjukkan kualitas kesalehan diri kita. Seandainya kesalehan individu dapat diamalkan, niscaya akan memancarkan kesalehan bagi lingkungan dan alam sekitar kita.

Hindari pikiran-pikiran negatif yang memandang skeptis terhadap perubahan dan transformasi Banten yang luar biasa ini. Karena orang yang selalu berpikir skeptis, biasanya memiliki bakat alam yang selalu menjerumuskannya ke dalam kesialan. Sedangkan orang-orang beruntung yang dirahmati Allah, akan selalu mampu melihat cahaya, meskipun dunia di sekelilingnya diliputi kegelapan. Orang yang dirahmati Allah senantiasa mampu melihat sisi baik di tengah-tengah penderitaan dan kegalauan badai prahara sekalipun.

Tetapi orang-orang sial, akan selalu mengalami kesialan dalam situasi apapun. Madhep kulon sial madhep wetan sial. Orang Banten seperti ini, akan menafsirkan gejala apa saja sebagai tanda-tanda bahwa hari kiamat sudah dekat. Ada tokek bunyi tanda hari kiamat. Ada cicak jatuh kiamat sudah dekat. Ada kadal buntung kiamat di ambang pintu. Kandidat yang diusungnya kalah dalam Pilkadal, Jumat besok datang kiamat kubro.

Dangkal sekali jika ada orang Banten berpikiran picik seperti itu. Sifat dan karakteristik macam itu, hanya menunjukkan kesialan hidup Anda, juga kegelapan pikiran Anda sendiri. Na’udzu billahi min-dzalik… (*)

Redaktur: Arif Soleh
Bagikan:

KOMENTAR

Bukan Pikiran yang Gelap

INILAH SERANG

654 dibaca
Polda Banten Lepas Liarkan 90 Ribu Lobster ke Laut
841 dibaca
BNNP Banten Musnahkan Barang Bukti Sabu dan Ganja

HUKUM & KRIMINAL

1540 dibaca
Residivis Warga Lampung Ini Dulu Pemakai Kini Pengedar Narkoba
1902 dibaca
Polisi Amankan Sejumlah Buku dan Metal Detektor Dari Terduga Penista Agama

POLITIK

2048 dibaca
Pilkada Kota Tangerang 2018, Hudaya Latuconsina Ternyata Baru Akan Istikhoroh
1572 dibaca
Pleno KPU Banten Selesai, Pasangan WH-Andika Resmi Menang

PENDIDIKAN

2324 dibaca
Pengiriman Soal Terkendala,  UAS SD di Pandeglang Batal
461 dibaca
Pemkab Serang Support Kampung Literasi Digital Taman Sawah Untirta
Top