PERSELISIHAN dan kontradiksi pendapat yang mewarnai umat ini, seakan sudah menjadi perkara yang dianggap lumrah. Slogan-slogan dari sebagian orang yang mengatakan : "Perselisihan itu adalah rahmat, jadi di antara kita harus memiliki rasa toleransi."
Atau "Kita saling tolong-menolong pada hal-hal yang kita sepakati dan kita bertoleransi pada hal-hal yang kita perselisihkan" pun turut menghiasi, seakan menyetujui perselisihan yang kian larut ini.
Sekilas slogan-slogan tersebut memberi kesejukan dan ketenangan jiwa manusia. Dengan dalih "... walaupun berselisih atau berbeda pemahaman, yang penting ukhuwah (persaudaraan) tetap terjalin."
Walhasil ketika bermuamalah, mereka berusaha untuk tidak menyentuh perkara yang diperselisihkan demi menjaga keutuhan ukhuwah. Sekalipun perkara tersebut adalah sesuatu yang prinsip (jelas) hukumnya dalam agama. Sehingga amar maruf nahi munkar sulit dijalankan, karena adanya rambu-rambu toleransi ala mereka.
Mereka tak sadarbahwa dengan sikap seperti itu- justru melanggengkan perselisihan yang tajam pada umat ini.
Bila kita melihat realita yang ada, tidak sedikit dari kalangan muslimin yang terperosok jauh akibat perselisihan tersebut. Mereka tidak bisa menerima dan menjalani konsekuensi dari slogan-slogan di atas tadi ("perselisihan adalah rahmat" dan lain-lain). Perselisihan pun menjadi kian meruncing nan tajam.
Bahkan diantara mereka terjatuh dalam pertikaian, permusuhan, bersitegang urat sampai pada bentrokan fisik. Karena masing-masing pihak merasa bangga dan ingin memenangkan pendapat yang dipeganginya.
Semisal dalam hal pemilihan madzhab diantara imam yang empat. Baik dalam perkara aqidah, fiqih maupun muamalah. Sebagai contoh : "Si A tidak mau salat di masjid yang berbeda madzhab" atau "si B tidak mau bermakmum di belakang si C karena madzhabnya berbeda".
Dan contoh-contoh lain yang telah melanda kehidupan umat Islam. Lalu apakah perselisihan yang demikian ini dikatakan sebagai "rahmat"? [Ustaz Abu Abdurrahman Abdul Aziz/lnilah]