Pertanyaan mengenai status agnostik dalam Islam sering kali muncul, terutama seiring dengan maraknya fenomena agnostik di kalangan generasi muda di berbagai belahan dunia. Dalam Islam, istilah “kafir” umumnya digunakan untuk menyebut orang yang secara tegas menolak atau mengingkari keberadaan Tuhan. Namun, bagaimana dengan mereka yang mengaku agnostik—yakni orang-orang yang ragu akan keberadaan Tuhan tetapi tidak sepenuhnya menolak atau mengakui keberadaan-Nya?
Mengutip laman al-islam.org , Amina Inloes, akademisi dan pemimpin program studi MA Islamic Studies di AS, menjelaskan bahwa istilah "kafir" dalam al-Qur'an memiliki konteks khusus. Menurutnya, istilah ini lebih ditujukan kepada mereka yang benar-benar menolak keberadaan Tuhan atau pesan-Nya, bukan mereka yang sekedar meremehkan atau belum menemukan keyakinan. Sehingga, menurut Inloes, agnostik yang berada di netral—tidak mengakui tetapi juga tidak menolak keberadaan Tuhan—berada pada posisi di luar kategori kafir.
"Agnostik tidak selalu berarti menolak agama. Beberapa orang menyebut diri mereka agnostik karena mereka belum menemukan keyakinan yang pasti atau memiliki keraguan terhadap agama formal tanpa sepenuhnya menolak keberadaan Tuhan," jelas Amina.
Sikap agnostik menurutnya ini sering kali mencerminkan proses pencarian atau kebingungan pribadi, bukan pengingkaran.
Perspektif Ulama tentang Agnostik
Sejalan dengan pandangan Inloes, Dr. Zaid Alsalami, ulama Irak lulusan Al-Mustafa International University, Qom dan MA dari Islamic College di London, menambahkan bahwa seorang agnostik yang tidak yakin akan keberadaan Tuhan memang tidak dapat digolongkan sebagai "orang beriman."
Namun, ia juga menekankan bahwa istilah kafir dalam Islam memiliki makna khusus yang tidak selalu tepat untuk disematkan pada orang-orang yang hanya ragu atau belum menemukan jawaban spiritual.
Menurut Alsalami, seseorang yang secara tegas menolak Tuhanlah yang lebih sesuai disebut kafir, sedangkan agnostik berada di antara kepercayaan dan penolakan, dan status mereka bergantung pada sikap dan niat individu tersebut terhadap keyakinan spiritual.
Sikap Islam terhadap Dialog dengan Kaum Agnostik
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW dikenal terbuka terhadap dialog dengan berbagai kalangan, termasuk mereka yang tidak yakin akan keesaan Tuhan. Dialog-dialog ini berperan penting dalam menyebarkan ajaran Islam, karena memberikan ruang bagi individu yang masih dalam proses pencarian.
“Jika mereka langsung disebut kafir dan ditolak, maka Islam mungkin tidak akan berkembang seperti sekarang,” terang Inloes.
Sikap inklusif dan dialog terbuka ini merupakan salah satu prinsip dalam berdakwah, dan banyak ulama menekankan pentingnya pendekatan lembut dan edukatif terhadap mereka yang belum menemukan keyakinan. Pendekatan ini juga berfungsi untuk menjaga agar orang yang sedang mencari jawaban spiritual tidak merasa dikucilkan atau dihakimi.
Pandangan MUI terhadap Agnostik di Indonesia
Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa paham agnostik tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Wasekjen MUI Ikhsan Abdullah mengingatkan agar umat Islam di Indonesia tidak terpengaruh paham ini, yang menurutnya bertentangan dengan prinsip dasar bangsa.
Menurut Ikhsan, tidak ada ruang bagi mereka yang tidak beragama di Indonesia, baik yang ateis maupun agnostik. Pernyataan ini didasarkan pada konstitusi Indonesia yang mengakui keberadaan Tuhan sebagai landasan negara dan moral bangsa.
Namun, dalam konteks spiritual dan dakwah, MUI dan tokoh-tokoh Islam tetap mendorong dialog dan pemahaman dengan mereka yang belum menemukan keyakinan pasti, termasuk kaum agnostik. Hal ini demi menjaga dan memperkuat nilai-nilai spiritual bangsa Indonesia sambil tetap memberikan ruang bagi mereka yang sedang dalam proses pencarian.[lnilahcom]