Oleh: Muahor Zakaria
Dalam perjalanan mudik lebaran beberapa waktu lalu, saya membuka-buka artikel di media sosial yang berkaitan dengan masalah orang lain yang diartikan sebagai sesama atau “liyan”. Tidak kurang dari Goenawan Mohamad ikut pula meramaikan jagat wacana mengenai pembahasan tentang “liyan” ini. Perbincangan semakin meruncing ketika Goenawan menghubungkan dalam konteks keindonesiaan, mengingat budaya, agama, dan etnisitas bangsa kita yang begitu majemuk dan heterogen.
Orang Jawa bisa menyebut kata liyan sebagai orang lain yang sama dengan kita. Tetapi orang Banten mengenal istilah tersebut sebagai “orang lain” atau “orang asing” yang tak ada hubungan darah, bukan bagian dari keluarga atau saudara kita. Ketika kita memahami penggunaan kata “liyan”, maka kita harus melihat dalam konteks budaya masyarakat pemakainya. Seperti pada masyarakat Jawa, kata liyan terdapat pada beberapa peribahasa atau petuah leluhur Jawa, misalnya, “Siapa yang melupakan kebaikan orang lain, maka sama saja dengan binatang.” (sing sopo lali maring kebecikaning liyan, iku koyo kewan).
Dalam bahasa Inggris, kata liyan diartikan sebagai the other. Beda dengan filosofi Jawa yang suka mengedepankan kesetiakawanan sosial, menyenangkan orang lain, seperti memberi hantaran kepada tetangga kanan maupun kiri. Petuah lainnya dari leluhur Jawa yang berkaitan dengan kata “liyan” terdapat pada, “Yen siro dibeciki liyan tulisen ing watu, yen siro gawe kebeciken tulisen ing lemah.” Kalimat tersebut bukan hanya bermakna filosofis tetapi juga sangat sufistik. Bahwa jika kita diberi kebaikan oleh orang lain, ukirlah di atas batu, tetapi jika kita berbuat baik untuk orang lain cukuplah ditulis di atas pasir.
Petuah itu mengajarkan orang Jawa agar tidak menghitung-hitung amal kebaikan yang telah dilakukan untuk orang lain, karena akan mengganggu keikhlasan yang dapat menghapus dan merusak pahala dari amal kebaikan tersebut. Sebaliknya, amal kebaikan yang dilakukan orang lain untuk orang Jawa, sepantasnya dicatat dan diingat dengan baik. Siapa tahu kelak ketika rizkinya melimpah, ia akan sanggup membalas budi dan jasa orang lain (liyan) yang telah berbuat baik kepadanya di masa lalu.
Di sisi lain, orang Jawa selalu diingatkan agar tidak mengingat-ingat kesalahan orang yang pernah dilakukan terhadap dirinya. Sedangkan dia sendiri diperintahkan untuk selalu mengingat-ingat kesalahan yang pernah dilakukannya terhadap orang lain. Di sini mengandung arti bahwa orang Jawa, jika mengingat-ingat kesalahan orang lain (liyan), hatinya akan diliputi dendam dan kedengkian yang akan mengarah pada kejahatan.
Orang Jawa senantiasa berpikiran positif dalam memaknai liyan sebagai orang lain. Boleh jadi sang liyan itu pernah melakukan kesalahan atau kejahatan, tetapi kesalahan itu diartikan sebagai kealpaan atau kekhilafan yang mungkin dilakukan karena ketidaksengajaan atau disebabkan tingkat pengetahuan yang terbatas. Jadi, tetap memegang prinsip dan rasa empati kepada orang lain sebagai sesama manusia, yang harus dipandang seperti dirinya.
Bahasa Jawa Banten
Beda dengan bahasa Jawa Banten yang mengartikan “wong liyan” seakan-akan berkonotasi negatif. Orang Jawa Banten memaknai “liyan” sebagai orang asing yang aneh dan patut dicurigai. Mereka bukanlah golonganku, bukan keluarga dan dinastiku, atau bukan partai dan mazhabku. Seakan-akan tidak pantas mendapat jatah dan bagian dariku. Wong liyan dalam pengertian Jawa Banten adalah “al-ghuraba”, sesuatu yang asing dan langka, seakan tidak pantas untuk kita rangkul.
Kita patut merasa khawatir, jangan-jangan kehidupan masyarakat yang kurang bahagia dan kurang harmonis, minimnya rasa empati dan simpati kepada sesama, disebabkan pemakaian bahasa yang kurang memekarkan nilai-nilai solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Beberapa contoh dalam bahasa Jawa Banten yang menunjukkan permusuhan kepada wong liyan itu, misalnya pada kata, “ting bating”, “taik kucing”, “cingar”, “cemirik”, “wong edan”, “sedeng”, “haram jadah”, “ora waras”, dan masih banyak julukan negatif lainnnya yang seringkali ditujukan kepadawong liyan yang dianggap lawan dan musuh.
Di sisi lain, tidak jarang pada sebagian masyarakat yang gemar mengungkit-ungkit aib dan kesalahan orang lain. Tapi sebaliknya, tidak jarang juga kita mendengar orang Banten yang suka kegenitan, gemar membeberkan jasa dan kebaikan dirinya pada banyak orang. Lihatlah berderet-deret spanduk, baliho dan segala tetek-bengek iklan dan promosi yang mengumbar syahwat kekuasaan yang seakan prestisius dan gemilang. Bahkan ketika beberapa petinggi politik dan kepala daerah dicekal oleh KPK, spanduk dan baliho itu masih saja bertengger selama beberapa minggu dengan foto-foto close up yang nyengir dan cengengesan, seakan memperlihatkan gigi-gigi emasnya.
Karena itu, kita harus siap menerima orang-orang dari luar Banten yang semakin bermunculan mengapresiasi karya-karya sastra mengenai watak dan karakteristik orang Banten. Kalau kita menolak bersikap legowo dan rendah-hati, kerugiannya akan semakin diderita oleh diri kita sendiri yang dianggap sebagai masyarakat eksklusif yang kurang bahagia, kurang menghargai kreasi orang lain. Kita akan dianggap sebagai masyarakat antah barantah yang miskin apresiasi, tidak peka dan tidak punya selera humor, miskin perspektif untuk melihat dan memaknai kehidupan manusia dari berbagai macam sudut pandang.
Bukan Masyarakat Pendendam
Dalam pengertian Jawa yang sebenarnya, kata liyan mengandung konotasi yang sangat positif. Masalah yang lebih mendalam, dan yang menjadi krisis kebangsaan kita saat ini adalah hilangnya semangat persaudaraan, lenyapnya rasa bahwa orang lain itu tidak sekadar kelompok sosial yang kebetulan sebangsa dan setanah air dengan kita (WNI), tetapi lebih bermakna luas sebagai sesama manusia di muka bumi ini.
Ketika kita mengadopsi kata liyan sebagai bahasa Jawa, maka kita harus menempatkan kata tersebut berdasarkan konteks kebudayaan Jawa yang sebenarnya. Kebajikan sosial yang terkait dengan kata liyan dalam kultur Jawa seharusnya menjadi kebajikan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita harus bersama-sama membangun peradaban masyarakat yang harmonis dan guyub, masyarakat yang tidak bengis dan bukan pendendam. Masyarakat yang tidak menimbun rasa benci dalam dirinya karena kesalahan orang lain. Tetapi masyarakat Indonesia yang berjiwa besar, berani mengambil langkah pertama meminta maaf jika dia melakukan kesalahan. Itulah makna sesungguhnya dari "sesama" dalam arti "liyan", seperti yang disinyalir oleh Goenawan Muhamad, bahwa hidup dengan orang lain atau "liyan" itu mestinya membangkitkan rasa empati.
Kita juga menghargai beberapa pengasuh pesantren yang telah memberikan teladan dengan memaknai kata “liyan” dalam pengertiannya yang positif. Dengan jiwa besar dan sikap yang rendah-hati, mereka rela mengunjungi beberapa elit politik kita yang mendekam dalam jeruji besi karena kasus suap dan korupsi. Di hadapan Ibu Atut Chosiyah, pengasuh pesantren itu mengatakan: “Sebaiknya Bunda terus melakukan muhasabah dan munajat kepada Allah. Karena setiap diri kita pasti berlumuran dosa. Dan orang yang paling berdosa justru mereka yang merasa dirinya paling suci. Kami yang berada di luar penjara ini, bukan berarti luput dari salah dan dosa, tetapi karena Allah masih menutupi aib dan kesalahan yang kami lakukan.”
Oleh karena itu, sangat mudah bagi Allah untuk membuka aib dan membeberkan kesalahan kita, kesalahan saya dan Anda, jika saja kita berbuat ingkar dan kufur nikmat. Berapa banyak manusia yang dapat bangkit setelah menghadapi ujian penderitaan dan kesengsaraan. Tetapi sebaliknya, berapa banyak manusia yang jatuh dan gagal ketika dihadapkan pada ujian kenikmatan dan kemegahan duniawi. Mereka menjadi takabur dan congkak atas kenikmatan yang diraihnya, hingga sampai pada waktunya dicabut kembali kemegahan yang tengah dinikmatinya secara tiba-tiba. Naudzu billahi min dzalik. (*)
Penulis: Muahor Zakaria
(Alumni Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Lebak)