Oleh: Supadilah Iskandar
Esais generasi milenial, pengamat sastra mutakhir Indonesia
Ada kisah menarik dari kebiasaan burung Kangkok Erasia, yakni spesies dari keluarga burung Cuculidae yang banyak terdapat di Australia. Sedangkan di Indonesia, lebih banyak ditemukan di wilayah Sulawesi dan sekitarnya. Burung itu mampu terbang sejauh 12.000 km melintasi 16 negara. Ia punya kebiasaan menyimpan telurnya di sarang burung lain. Setelah burung Kangkok Erasia menetas, ia akan menjatuhkan telur atau anak dari si pemilik sarang, kemudian “menyamar” seolah dialah anak si pemilik sarang tersebut.
Burung-burung yang sarangnya diinvasi lambat laun berevolusi, hingga kemudian menyadari dan bersikap waspada terhadap burung apapun yang mau menetaskan telur di sarang yang bukan miliknya. Di sisi lain, burung-burung yang berkembang biak secara parasit juga ikut berevolusi. Mereka terus mencari-cari cara untuk menipu burung-burung pemilik sarang lainnya.
Hukum alam yang terjadi adalah pertarungan hidup dan mati. Siapa yang akan melanjutkan keturunannya dan siapa yang akan terancam kepunahan. Bagi burung Kangkok Erasia, menyimpan telur di sarang burung lain adalah kebiasaan belaka, seakan-akan ia berseloroh: “Ngapain juga harus repot-repot membangun sarang sendiri, kalau ada cara yang gampang untuk menetaskan telur? Lagipula, kalau ada burung lain yang mau memberi makan anak-anakku, bukankah lebih baik aku menyibukkan diri mencari makan untuk diriku sendiri?”
Bertahan hidup dan berkembang biak adalah hal paling mendasar bagi setiap makhluk hidup untuk menentukan arah evolusinya. Bagi kebanyakan burung, bersusah payah mengumpulkan ranting dan rumput kering, lalu menyusunnya menjadi sarang, lalu melumurinya dengan air liur, merupakan bagian dari naluri bertahan hidup dan berkembang biak.
Begitupun halnya dengan kita sebagai manusia. Kadang mudah tergoda untuk meniru naluri-naluri hewani, hanya karena keserakahan untuk mengeruk keuntungan yang berlebihan. Misalnya beberapa waktu lalu, ada seorang teman sowan ke rumah, mengajak saya berbisnis tempe dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
“Kalau wabah Corona ini sulit dikendalikan, terutama menghadapi varian-varian terbaru yang mengerikan, dan vaksinnya semakin sulit ditemukan, maka konsekuensinya pasar dan warung-warung akan tutup. Bagaimana kalau tukang lauk dan sayur-mayur tidak berjualan? Bukankah lebih baik saya menuruti saja ajakan teman saya, ketimbang saya harus makan buku, laptop dan printer?”
Akhirnya, dalam perbincangan beberapa jam itu, saya membayangkan diri saya bersemangat dalam mengoperasikan bisnis tempe. Tata cara pembuatan bisa mudah diakses dari internet, dengan bahan utama kedelai dan ragi. Dalam waktu cepat saya bisa berinovasi dengan kualitas tempe yang baik dan enak dinikmati, ketimbang tempe-tempe yang dijual di supermarket.
Paling hanya membutuhkan waktu beberapa hari saya akan mampu membuat tempe, ditambah pengalaman bersama nenek sewaktu SD, yang tentu akan menambah kualitas rasa terbaik. Akhirnya, saya menyukai tempe bikinan saya sendiri. Lalu, sambil selonjoran di sofa, saya membayangkan seandainya saya geluti dengan serius, saya bisa fokus berbisnis tempe dengan penghasilan duaratus ribu perhari.
Masalahnya, uang duaratus ribu hanya cukup untuk menutupi tagihan-tagihan hidup saya. Tapi apa mau dikata, tangan saya cuma dua. Mana mungkin membuat tempe lebih banyak lagi?
Pengetahuan tentang naluri burung Kangkok Erasia mulai terbayang dalam memori saya. Otak saya mulai bereaksi. Itu artinya, kalau saya mengambil pekerja lima orang, tentu mereka bisa menghasilkan satu juta perhari. Tiap orang bisa saya bayar sesuai dengan upah minimum regional (UMR), selebihnya adalah milik saya pribadi.
Nah, kalau saya mampu menghasilkan limaratus ribu perhari sambil rebahan atau selonjoran di sofa, buat apa saya bikin tempe sendiri? Keuntungan akan terus berlipat-lipat jika semakin banyak karyawan yang saya pekerjakan di pabrik tempe saya. Kalau ada sepuluh orang saja, apalagi ratusan bahkan ribuan karyawan? Demikianlah naluri burung Kangkok Erasia dalam otak kepala saya. Ketika ia menginvasi sarang burung lain untuk membesarkan anak-anaknya, saya cukup menginvasi dan mengekploitasi tenaga orang untuk mengeruk keuntungan berlipat-lipat.
Lalu, apakah kita akan seenaknya berpendapat bahwa seperti itulah hukum alam atau sunatullah berlaku? Jelas tidak. Sebab, setiap keculasan dan ketidakadilan yang dilakukan manusia, kelak akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Tuhan Sang Pencipta. Sebagaimana penggambaran film “Parasite”, satu-satunya film Asia yang memenangkan Oscar tahun lalu. Pada akhirnya, keluarga pembantu yang berencana menginvasi keluarga majikannya, tidak selalu mulus seperti rencananya semula. Karena, rencana dan agenda yang diciptakan manusia – sehebat apapun – hanyalah hasil rekayasa otak manusia belaka.
Tokoh-tokoh dalam novel Perasaan Orang Banten, yang melakukan hal-hal negatif, pada akhirnya dimintai pertanggung jawaban atas amal perbuatannya masing-masing. Bukan hanya di akhirat, tetapi di dunia ini setiap individu akan berurusan dengan mahkamah sejarah tentang dirinya sendiri. Ketika sudah waktunya bagi Allah untuk membuka aib-aib seseorang, maka tak ada kekuatan apapun yang dapat menghalangi aibnya terbongkar saat ini juga. Tidak ada kekuatan apapun yang dapat membuka rahasia hidup manusia, jika Allah berkehendak untuk menutup rapat-rapat rahasia tersebut.
Di sisi lain, bukankah agama mengajarkan kita, bahwa pada hakikatnya rizki, jodoh dan ajal kematian sepenuhnya dalam catatan Sang Pencipta? Lalu, untuk apa manusia berbuat culas dan licik terhadap sesamanya? Untuk apa manusia berambisi keras memaksakan diri agar agenda dan rencananya terlaksana dengan semaksimal mungkin?
Bukankah gerak-gerik manusia dibatasi oleh sifat lupa, kantuk, lemah, sakit, bahkan ajal kematian? Belum tentu Anda yang menengok orang sakit, akan berumur lebih panjang daripada teman yang ditengoknya, lalu untuk apa bersikap angkuh dan sombong?
Sebagai warga Banten, mari kita muhasabah dan introspeksi diri di masa pandemi ini. Teruslah berkarya dan tanam kebaikan sebanyak-banyaknya. Jangan pedulikan orang yang merasa iri, dengki dan mencaci-maki. Sungguh, demi Allah, bukanlah mereka yang menentukan nasib hidup kita di masadepan. Karena keberhasilan dan kegagalan manusia bukanlah ditentukan oleh lawan dan musuh-musuhnya.
Selama kita konsisten dan istiqomah di jalan kebenaran, tidak ada marabahaya yang menimpa hidup kita, tanpa izin Allah. Juga tidak ada kekuatan apapun yang dapat menghalangi kesuksesan dan keberhasilan kita, jika Allah sudah memberikan jalan mulus kepadanya…. (*)