Ketika hidup di dunia seperti berjalan baik-baik saja, atau bahkan bergelimangnya harta kekayaan, boleh jadi keadaan yang sesungguhnya tidak bagus dalam pandangan Allah. Oleh karena itu, waspadailah kondisi istidraj. Secara kebahasaan, istidraj berarti 'mengulur-ulur.' Secara terminologi keagamaan, istilah itu merujuk pada keadaan 'terus-menerus diberi kenikmatan yang melalaikan sehingga justru membinasakan.'
Dalam pengertiannya, istidraj berarti kenikmatan materi yang diberikan kepada seseorang secara lahir semakin bertambah, namun kenikmatan yang bersifat batin semakin dikurangi atau dihilangkan, sementara ia tidak menyadarinya.
Istidraj, fenomena yang mungkin belum banyak disadari oleh umat Islam, merupakan kondisi di mana Allah SWT memberikan nikmat dunia kepada pelaku dosa sebelum mendatangkan azab secara tiba-tiba dan langsung. Fenomena ini dijelaskan secara rinci dalam buku "Menepi dari Dunia" karya H. Brilly El-Rasheed.
Menurut El-Rasheed, istidraj terjadi ketika kenikmatan-nikmat dunia terus dilimpahkan kepada seseorang yang berdosa, sehingga pada suatu titik, tanpa peringatan, Allah SWT menimpakan azab kepada mereka.
Konsep ini juga diungkap dalam Al-Qur'an, misalnya dalam surah Al An'am ayat 44:
فَلَمES secara ةً فَاِذَا هُمْ مُّبْلِسُوْن mengambil ٤٤
fa lammâ nasû mâ dzukkirû bihî fataḫnâ 'alaihim abwâba kulli syaî', ḫattâ â â â â â Â Â â € ḫ ḫath â â Â
Artinya: “Maka, ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka memutuskan putus asa."
Selain itu, surah Ali Imran ayat 178 juga mengingatkan:
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنَّمَا نُمْلِيْ لَهُمْ خَيْرٌ لِّ اَنْفُسِهِمْۗ اِنَّمَا نُمْلِيْ لَهُمْ لِيَزْدَادُوْٓا اِثْمًاۚ وَلَهُمْ عَ ذَابٌ مُّهِيْنٌ ١٧٨
wa lâ yaḫsabannalladzîna kafarû annamâ numlî lahum khairul li'anfusihim, innamâ numlî lahum liyazdâdû itsmâ, wa lahum 'adzâbum muhîn
“Jangan sekali-kali orang-orang kafir mengira bahwa sesungguhnya tenggang waktu yang Kami berikan kepadanya baik bagi dirinya. Sesungguhnya Kami memberikan tenggang waktu hanya agar dosa mereka semakin bertambah dan mereka akan mendapat azab yang dihinakan.”
Namun, membedakan antara limpahan nikmat sebagai berkah atau istidraj bisa sangat menantang.
Dalam buku “Muhasabah Notaris/PPAT Terhadap Berbagai Bahaya Dosa dalam Jangkauan Jabatan Sehari-hari” oleh Daeng Naja, beberapa ciri orang yang terkena istidraj dijelaskan, antara lain:
1. Kikir tapi Harta Bertambah: Seseorang yang sangat menyayangi hartanya hingga tidak rela berzakat, namun harta mereka terus bertambah.
2. Lalai Ibadah tapi Dikaruniai Nikmat: Orang yang mendapatkan kenikmatan terus-menerus namun meninggalkan kewajiban ibadah.
3. Sombong dengan Harta yang Dimiliki: Kekayaan yang berlebihan seringkali membuat seseorang sombong dan lupa diri.
4. Gemar Maksiat tapi Bahagia: Mereka yang sering berbuat dosa namun hidupnya tampak sukses dan sejahtera.
5. Jarang Sakit : Kadang-kadang, jarang sakit bisa menjadi ciri bahwa seseorang terkena istidraj.
Kesadaran akan istidraj penting karena fenomena ini merupakan peringatan bahwa setiap kenikmatan yang diterima bisa jadi memiliki dua sisi.
Oleh karena itu, Umar bin Khattab RA pernah berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu menjadi mustadraj (orang yang ditarik dengan retensi-angsur ke arah kebinasaan).”
Istidraj mengajarkan bahwa seorang muslim harus selalu waspada dan tidak lalai dalam mengamalkan ibadah serta menjauhi perbuatan dosa, meskipun di tengah keberlimpahan nikmat yang dirasakan.